Judul : Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda
Penulis : A. Sobana Hardjasaputra, H. D. Bastaman, Edi S. Ekadjati, Ajip Rosidi,
Wim van
Zanten, dan Undang A. Darsa.
Penerbit :
Yayasan Pusat Studi SundaTahun Terbit : Desember 2004
Kota Terbit : Bandung
Editor : Ajip Rosidi
Warna Cover : Coklat muda dengan coklat kekuning-kuningan di tengahnya
Gambar Cover : Gambar baju daerah dan payung
Ukuran : 21X14,5 cm
Tebal : 190 halaman
Berat Buku : 230.00 (gram)
ISBN : am102763w
Cover : Soft Cover
BAB
II
RESUME
BUKU
Berikut adalah resume buku “Bupati di Priangan dan
Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda”:
A. BAB
I
BUPATI DI
PRIANGAN
Dalam bahasa
Sansekerta, istilah bupati berasal
dari kata bhu yang berarti “bumi”
atau “tanah” , dan pati berarti
“tuan”, “pemilik” atau “penguasa”. Dengan demikian, bupati adalah pemilik atau penguasa bumi atau tanah, yang berarti raja.
Priangan
dalah salah satu daerah di Jawa Barat dengan luas wilayah lebih kurang 21.500
kilometer persegi atau kira-kira seperenam dari luas Pulau Jawa. Wilayah itu di
sebelah utara berbatasan dengan Cirebon dan Jakarta, di sebelah timur
berbatasan dengan Cirebon dan Banyumas, sedangkan di sebelah selatan dan barat
berbatasan dengan Banten.
Pengungkapan
periode Priangan pada zaman kekuasaan Mataram dan Kompeni, dimaksudkan sebagai
latar belakang . karena pentingnya potensi Priangan pada abad ke-19 bagi
perekonomian pemerintah kolonial. Adanya ikatan feodal antara bupati dengan
rakyat dan masuknya konsep Jawa mengenai kepemimpinan dan kekuasaan ke dalam
kehidupan masyarakat Priangan, menyebabkan bupati di Priangan termasuk ke dalam
kategori pemimpin kharismatis, pemimpin yang mampu menggerakkan orang lain
melalui kekuatan pribadinya.
Dibawah
kekuasaan Mataram, bupati di Priangan merupakan Elite penguasa yang memiliki
otoritas penuh untuk memerintah di daerah kekuasaannya. Hal ini disebabkan
bupati – bupati di Priangan sejajar dengan bupati – bupati di daerah
mancanegara yang memiliki kekuasaan besar. Ada dua faktor dasar yang menyebabkan
bupati di daerah mancanegara memiliki kekuasaan besar. Pertama, karena
struktur pemerintahan Mataram merupakan garis hierarkis, terdiri atas unit –
unit kekuasaan yang terpisah – pisah. Kedua, besarnya kekuasaan kepala
daerah di mancanegara disebabkan oleh beberapa kondisi, yaitu letak daerah
mancanegara jauh dari pusat kekuasaan dan belum ada sarana transportasi dan
komunikasi yang memadai. Kedudukan bupati sebagai penguasa
daerah, digunakan oleh pemerintah kolonial sebagai perantara pemerintah dengan
masyarakat pribumi dalam pelaksanaan eksploitasinya.
Kedudukan
bupati di Priangan cenderung menurun pada bagian akhir kekuasaan Kompeni.
Adapun awal dari kekuasaan kompeni di Priangan ini diawali setelah meninggalnya
Sultan Agung meninggal (1645) yang menyebabkan Mataram berangsur – angsur
menjadi lemah akibat kemelut yang terjadi di dalam kerajaan dan serangan dari
luar. Wilayah priangan jatuh ketangan Kompeni dalam dua tahap akibat perjanjian
Mataram – Kompeni tahun 1677 dan 1705. Pada tahap pertama kompeni memperoleh
wilayah Priangan Barat dan Tengah. Pada tahap kedua Kompeni menguasai wilayah
Priangan Timur dan Cirebon. Pada mulanya Mataram menyerahkan daerah Priangan
kepada Kompeni hanya sebagai pinjaman. Tetapi karena Mataram bertambah lemah,
maka penguasa kerajaan itu makin sering meminta bantuan ke Kompeni. Akibatnya,
Kompeni berkuasa penuh atas wilayah Mataram termasuk Priangan. Akan tetapi,
penurunan itu hanya terjadi pada kedudukan bupati sebagai kepala daerah.
Pada abad
ke-19, kedudukan bupati mengalami masa turun- naik, diawali oleh perubahan
drastis, dari bupati sebagai kepala daerah menjadi bupati sebagai aparat
pemerintah kolonial ( pemerintah Hindia – Belanda). Perubahan itu terjadi
akibat kebijakan pemerintah kolonial yang berupaya untuk menjalankan sistem
pemerintahan langsung.
Upaya
pemerintah kolonial ternyata gagal akibat kuatnya kedudukan dan peranan bupati
sebagai pemimpin tradisional serta ikatan feodal antara bupati dengan rakyat.
Namun, struktur pemerintahan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial
mengakibatkan kekuasaan bupati menjadi berkurang. Kedudukan dan kekuasaan
bupati sebagai kepala daerah merosot akibat proses birokrasi pemerintah
kolonial.
Sistem
pemerintahan tak langsung yang terpaksa dijalankan oleh pemerintahan kolonial,
menyebabkan bupati berperan sebagai perantara pihak kolonial dengan lembaga
tradisional ( komunitas desa ). Dalam hal ini bupati harus memainkan peran
ganda. Selaku pemimpin tradisional, bupati harus bersikap dan bertindak dalam
ikatan feodal tradisional. Sebagai aparat pemerintah kolonial bupati harus
menjalankan fungsi dan peranan sesuai dengan status tersebut. Disinilah letak
keunikan posisi bupati pada masa kekuasaan kolonial, khususnya pada abad ke-19.
Adanya fungsi
ganda bupati menyebabkan para bupati memegang peranan penting, baik di bidang
politik maupun di bidang ekonomi dan sosial budaya. Dalam bidanng politik,
bupati berperan sebagai basis kekuasaan pemerintah kolonial. Di bidang ekonomi,
bupati di priangan memegang peranan penting dalam mekanisme produksi hasil
bumi, terutama kopi, karena pemerintah kolonial mempertahankan Preangerstelsel
( Sistem Priangan ). Dalam bidang sosial budaya, bupati berperan sebagai
innovator dalam proses akulturasi kebudayaan antara budaya tradisional Sunda di
satu pihak dengan budaya Barat di pihak lain.
Dipertahankannya
Preangerstelsel, pada satu sisi menyebabkan kedudukan bupati di Priangan
berbeda dengan bupati di daerah lain. Pada sisi lain, berlangsungnya
Preangerstelsel menyebakan bupati dapat mempertahankan prestise, gaya hidup,
dan pengaruh terhadap rakyat sebagai bentuk otoritas yang sah, paling tidak
otoritas sebagai pemimpin tradisional.
Meskipun
kedudukan formal bupati pada abad ke-18 secara politis mengalami penurunan,
tetapi peranan bupati bagi Kompeni tetap penting. Bupati dengan charisma
pribadinya merupakan basis kekuatan untuk menggerakkan rakyat, sedangkan
Kompeni tidak memiliki pengaruh terhadap rakyat, karena ruang lingkup
kekuasaanya hanya sampai bupati. Kedudukan bupati pada abad ke – 19 juga
mengalami masa turun – naik, hal ini sejalan dengan silih bergantinya pemimpin
pemerintahan dengan politik yang berbeda – beda, tetapi prestise dan pengaruh
bupati terhadap rakyat tidak berubah, bahkan bertambah besar. Simbol – simbol
berupa gelar kepangkatan dan atribut – atribut kebesaran lain yang diberikan
oleh pemerintah kolonial kepada para bupati, seara politis justru menambah
prestise dan memperbesar wibawa atau pengaruh bupati terhadap rakyat. Pemberian
simbol – simbol kebesaran itu berarti pemerintahan kolonial justru memperkuat
feodalisme di kalangan bupati.
Sesungguhnya
kebijakan pemerintah kolonial itu memiliki dua tujuan. Pertama, untuk
memperbesar loyalitas para bupati kepada pemerintah. Kedua, agar bupati
berperan lebih aktif dalam prases produksi hasil tanaman wajib. Dalam prases
itu, bupati menduduki posisi dan memegang peranan penting sebagai “ kunci”
keberhasilan eksploitasi kolonial. Bagi bupati, hal itu justru menyebabkan
mereka mampu memelihara dan mempertahankan konsensus masyarakat akan status
bupati. Dalam pandangan masyarakat tradisional, kedudukan bupati bersifat “
sacral “. Pandangan itu diperkuat oleh kenyataan bahwa jabatan bupati
berlangsung secara turun – menurun, bahkan berupaya untuk menghapuskan jabatan
tersebut.
Hal itu
menunjukkan keunikan posisi bupati dan peranan pentingnnya dalam hubungan
kekkuasaan dan kepentingan pemerintah colonial- bupati – rakyat. Dalam
hubungan itu terjadi ketergantungan satu pihak pada pihak lain. Berhasil
tidaknya kehendak pemerintah kolonial sanngat bergantung pada bupati.
Sebaliknya, kewajiban dan kehidupan bupati banyak bergantung pada kebijakan
pemerintahan colonial. Pada sisi lain, berhasil tidaknya bupati merealisasikan
kehendak pemerintahan kolonial bergantung pada kepatuhan rakyat. Sebaliknya,
kehidupan rakyat banyak bergantung pada kepemimpinan bupati.
Dalam
hubungan ketiga pihak itulah makna pentingnya kedudukan (posisi) dan peranan
bupati di Priangan pada masa kolonial, khususnya sampai dengan akhir abad
ke-19, baik bagi pemerintah kolonial maupun bagi masyarakat tradisional. Pada
dasarnya, hal itu pula yang menyebabkan pemerintah kolonial tidak kuasa
mencabut kedudukan bupati sebagai kepala daerah, apalagi sebagai pemimpin
tradisional yang kharismatis.
Hal – hal
tersebut menunjukkan bahwa perubahan dalam kedudukan bupati, baik pada zaman
kekuasaan Kompeni maupun pada zaman pemerintah Hindia Belanda, hanya mengangkut
kedudukan bupati sebagai kepala daerah. Kedudukan bupati sebagai pemimpin
tradisioanal tetap kuat karena berakar pada struktur sosial. Sebagai pemimpin
tradisional bupati menduduki status tertinggi dalam struktur sosial
tradisional. Kedudukan itu diperkuat oleh ikatan feodal antara bupati dengan
rakyat yang melembaga menjadi tradisi, bahkan diperkuat lagi oleh kebijakan tertentu
pemerintah colonial. Faktor – faktor tersebut menyebabkan jabatan bupati secara
turun – temurun terus berlangsung paling tidak sampai dengan akhir abad ke- 19.
Kinerja para
bupati juga menunjukkan bahwa bupati Priangan pada umumnya selain sebagai aparat
pemerintah colonial, mereka juga tetap melaksanakan fungsi sebagai pelindung
rakyat. Contohnnya dalam memajukan bidang pendidikan di Priangan, Bupati
Sumedang Pangeran Suriakusumah Adinata (1836 – 1882) membangun sebuah sekolah.
Beliau di kenal sebagai pelopor pendiri sekolah di Priangan. Bahkan ada sekolah
yang dibangun atas biaya sendiri, yang salah satu gurunya adalah bangsa
Belanda (G. Warnaar). Bupati Bandung juga Raden Adipati Wiranatakusumah (1846 –
1874) berhasil meningkatkan produksi kopi, memajukan pertanian dan pembangunan
daerah. Begitu juga dengan penggantinya Raden Adipati Kusumadilaga (1874 –
1893) berhasil memajukan ekonomi rakyat melalui koperasi. Bupati Limbangan
(Garut), Raden Adipati Wiratanudatar (1871 – 1915) memajukan rakyatnya dalam
urusan perdagangan dan bidang pendidikan.keberhasilan para bupati tersebut
menunjukkan bahwa sekalipun mereka menjadi objek kekuasaan colonial tetapi
mereka tetap memiliki kekuasaan untuk menggerakkan rakyat sebagai objek
kekuasaan bupati. Jadi dapat dikatakan bahwa anggapan yang menyatakan bahwa
bupati zaman kolonial adalah antek kolonial semata – mata dan pemeras rakyat,
adalah anggapan atau generalisasi yang keliru, karena tidak sesuai dengan fakta
sejarah.
B.
BAB
II
R.A.A. WIRATANUNINGRAT JEUNG RAWA LAKBOK
Dumasar kana naskah “Ngabukbak
Lakbok” karya R. Muh. Sabri Wiraatmadja
Aya
maksudna ngungkab (fragmén) riwayat ngabukbak Lakbok téh. Kahiji, ngébrehkeun
karya sastra unik rinéka ungkara dangding mirupa informasi kronologis nu
ditulis ku hiji pribadi nu nyaksian tur milu ancrub dina kagiatan mekarkeun
hiji wilayah: Tatar Lakbok di Ciamis Kidul. Ieu informasi bisa nambahan data
pikeun nyusun sajarah Priangan Wétan. Kadua, pangéling-ngéling ka salah sahiji
pupuhu Sukapura, nyaéta Dalem R.A.A. Wiratanuningrat nu nyangking kabupatian
Sukapura ka -14 ti taun 1908 nepi ka 1937.
Ngeunaan
eusi naskah ”Ngabukbak Lakbok” garis badagna mah nyaritakeun rupa-rupa kajadian
jeung kagiatan ti mimiti Lakbok dibaladah nepi ka bisa méré hasil. Upamana waé:
gambaran kaayaan daérah Lakbok méméh dibuka, survéy ka daérah-daérah nu bakal
dibuka, sistim ngabagi tanah, nyieun jalan jeung ngawangun jambatan, kaayaan
Lakbok Kidul saeunggeus dibuka, pésta
sukuran, gunta-gantina camat jeung wadana nu mancén tugas ngawangun Rawa Lakbok
kidul, Dalem teu damang nepi ka pupusna.
JEJER NASKAH JEUNG CUTATANANA
Naskah
“Ngabukbak Lakbok” jejerna mah nyoko dina usaha Dalem R.A.A. Wiratanuningrat
“nuhurkeun” wilayah Lakbok Kidul bu salilana babanjiran nepi ka robah jadi
daérah tatanén nu kacida suburna. Éta naskah diwangun ku sawatara jejer di
antarana:
I.
Bubuka
Naskah dibuka ku muji
ka Gusti Nu maha suci, solawat ka kangjeng Rosul SAW miwah para wargi
sareng sohabat-sohabatna, saperti karya-karya
sastra jaman harita sok dibuka heula ku muji ka Gusti Nu Maha Suci jeung
solawat terus miharep sangkan ieu naskah bisa kabaca ku anak-incu nu nulisna nu
hayang terang mangsana Rawa Lakbok dibuka.
II.
Kaayaan
Lakbok Kidul Saméméh Dibukbak
Rawa
Lakbok saméméh dibuka bener-bener kaasup leuweung ganggong, ngawates jeung
ranca nu taya saatna, panonoban darat jeung sasatoan cai nu garalak.
III.
Alpukah
Muka Lakbok
Lakbok Kidul sabenerna
mah daérah nu kacida léndona, tapi tara
kagarap lantaran sering kakeueum banjir. Nya timbul gagasan ti Bupati
Tasikmalaya, nu ngagem kakawasaan harita, pikeun ngamangpaatkeun daérah Lakbok.
IV.
Léngkah
Munggaran Nuhurkeun Rawa Lakbok
Léngkah munggaran
“nuhurkeun” Rawa Lakbok ku jalan nyieun susukan leutik pikeun ngocorkeun cai
ranca nu salilana ngeyembeng, dikocorkeun ka daérah Cilacap, kalawan disaksian
ku Dalem.
V.
Survéy
pikeun Ngabaladah Lakbok
Usaha-usaha nuhurkeun
Rawa Lakbok, salilana dibaladah heula ku survéy lapangan ku nu kagungan alpukah
ku anjeun.
VI.
Ngabagikeun
Tanah Hakulah ka Rayat
Waktu harita taun 1926
tanah Lakbok kaasup tanah pamaréntah nu kai-kaina ulah ditaluaran. Tapi dina
kanyataanana mah kai-kai leuweung pada naluaran, padahal Dalem Tasikmalaya keur
ngamanahan sangkan tanah Lakbok bisa kapimilik ku rayat.
Perkara jalma naluaran
kai diunjukeun ka Kangjeng Dalem, saterusna anjeunna sumping nyalira ka désa
Mangunjaya, ngempelkeun jalma-jalma jeung para kapala, maparin jangji bakal
ngusahakeun sangkan tanah sabuderna bisa kapimilik ku rayat.
Kawijaksanaan Bupati
éstu matak bungah saréréa, nu mimitina palaureun meunang hukuman duméh
ngaruksak leuweung pamaréntah tungtungna jadi kabungah saréréa, atuh nu marénta
idin pikeun ngagarap tanah kacida lobana, umumna marilihan tanah-tanah nu rada
luhur nu teu pati jero caina dina usum babanjiran. Tanah-tanah nu kaidinan
dibuka kabéh dicatet disarebut “Tanah Bon”, nu meunang dikebonan tapi kaina nu
baradag teu meunang ditaluaran saméméh tanah-tanah téa jadi tanah milik. Teu
lila tanah-tanah bon statusna tanah garapan téa diganti statusna jadi tanah
milik, ditandaan maké “cap singa”, nepi ka sesebutan “Cap Singa” jadi
kacapangan pikeun tanah-tanah milik wewengkon Lakbok Kidul.
VII.Arasupna
urang Jawa (Tengah) ka Wilayah Lakbok
Kawijaksanaan Bupati Tasikmalaya
ngabagi-bagi tanah Lakbok Kidul ka somah-somah pikeun jadi tanah milik sumebar
ka mana-mana. Atuh ti mana-mana daratang jalma-jalama nu seja Marénta tanah,
pangpangna jalma-jalma nu asalna ti Jawa Tengah. Tah waktu harita mimitina loba
urang Jawa nu ngadon bubuara ka Tatar Sunda beulah kidul.
Tanah Lakbok Kidul nu
asalna hara-haraeun kiwari gegek ku jalma nu ngaradon bubuara tur meunang tanah
pikeun kahirupan arinyana. Ari wilayah nu harita pada muru-muru téh pangpangna
désa Mangunjaya, Palédah, jeung leuweung-leuweung sabuderna nu statusna masih
mangrupa tanah hakulah, tacan jadi tanah milik. Lobana jalma, pangpangna nu
asalna ti Jawa Tengah nu ngadon bubuara di wilayah Lakbok Kidul tayohna kadangu
ku Pangagung. Nya terus Dalem Tasikmalaya sumping ku anjeun ka éta wilayah
pikeun ngayakeun “tatap muka” jeung sémah-sémah nu ngaradon bubuara téa.
Harita Bupati ngidinan
urang Jawa pikeun tetep tumetep di wilayah Lakbok Kidul tur dipaparin tanah
milik pikeun kahirupanana, kalawan sarat: kahiji, Arinyana kudu tumut tur
ngaluyukeun manéh kana adat istiadat urang Sunda; kadua, tanah-tanah nu geus
kapimilik teu meunang dijual tur kudu bener-bener dipiara; ari katiluna kudu
jadi patani nu rajin jeung tumut kana hukum nagara.
VIII. Lakbok Kaala Hasilna
Ngarasa hirupna senang,
somah-somah boga niat pikeun ngayakeun salametan bumi bari nanggap wayang.
Malah kahayang arinyana mah bari ngalulungsur Kangjeng Dalem sangkan iasa
ngaluuhan salametan somah-somah. Kahayang rayat disaluyukeun ku Bupati tur
jangji bakal sumping ngaluuhan.
IX.
Salameutan
di Kedungdadap
Dina tanggal 16 Juni
1926 salametan somah-somah lumangsung di Kedungdadap, tempat nu asalna
hara-haraeun. Ti mana-mana jalma-jalma daratang ngajugjug kedungdadap nu
gadadak jadi ramé tur dihias alus pisan. Dalem jeung garwana katut rombonganana
sumping ngaluuhan.
Harita kangjeng dalem
nandeskeun sakali deui yén tanah-tanah nu geus kapimilik teu meunang dijualan,
komo dipaké balantik tanah mah. Teras anjeunna ogé ngagentos ngaran kampung
Kedungdadap jadi Yasaratu nu nelah nepi ka ayeuna. Atuh garwana ogé maparin
nami Ngastina ka leuweung Rarangkasan nu aya di girangeun Yasaratu pikeun
pangéling-ngéling yén lebah dinya asalna mah tegal reunghas! Peutingna cumpon
kahayang somah-somah téh nanggap dalang Atmadja ngalalakonkeun babad “Alas
Amer” pamundut Dalem Istri.
X.
Nyieun
Jalam Anyar nu Ngahubungkeun Palédah-Mangunjaya
Dina bulan Fébruari
1929 ku alpukahna Wadana Pangandaran harita (Rd. Prawirasastra) jalan nu
nepungkeun désa Palédah jeung Mangunjaya diwangun kalawan gotong-royong. Éta
jalan nepi ka ayeuna kacida mangpaatna, malah harita mah kawentar jalan nu
kacida alusna tur pikabetaheun jadi pangjugjugan saréréa. Malah lembur beulah
dinya disarebut lembur panyontoan, miéling yasana Rd. Prawirasastra Wadana
Pangandaran nu nyontoan nyieun jalan nu alus pisan.
Sajaba ti jalanna
lempeng tur resik, ti dinya plung plong téténjoan ka mana-mana, malah
runggunukna tatar Cilacap gé atra. Éstu bener-bener asri pikabetaheun.
XI.
Nyieun
Sasak nu Ngahubungkeun Mangunjaya-Yasaratu
Dina bulan Juli 1932
Bupati R.A.A. Wiratanuningrat palay ngadamel sasak Ciséél beulah kampung Subang
nu bisa nepungkeun desa Mangunjaya jeung Yasaratu, sangkan patalimarga leuwih
gampang teu kahalangan ku walungan gedé nu sering banjir. Éta sasak tina awi
bitung téh dijieunna gotong-royong tur disaksian langsung ku Bupati bari prak
nyontoan ku anjeun. Tangtu baé matak ngahudang sumanget ka sakumna nu digarawe.
Niténan Dalem sakitu
soson-sosonna, atuh nu garawé téh sasatna pasegut-segut
bari teu weleh galumbira. Komo dina waktu ngariung reureuh gawé mah,
balakécrakan ngariung ambengan.
XII.Kagangguna
Ékologi
Leuweung Lakbok ayeuna
mah geus gegek ku jalma nu muka tanah pihumaeun pikeun kahirupan.
Leuweung-leuweung nu mimitina sangar taya hasilan, robah jadi tanah olahan
tatanén nu méré hasil tur gedé mangpaatna pikeun kahirupan somah. Tapi
sabalikna aya akibatna nu kurang hadé, nyaéta kasaimbangan ékologi kaganggu, di
antarana sasatoan Rawa Lakbok nu mimitina rupa-rupa jeung réa pisan jumlahna
ayeuna bubar katawuran tur ngurangan.
XIII. Moro Maung
Kalaburna sasatoan di
antarana aya hiji maung (Lakbok) nu kapahung béakeun tempat cicing, terus kabur
ka leuweung Cimadang bawahan Padahérang,
ngadon ngagalaksak ngaruksak jalma, nepi ka aya tiluan nu taratu korban maung.
Ku kituna Camat Padahérang ngeprik rayat moro maung, ku jalan ngasupan leuweung
Cimadang ti unggal jurusan bari direureuwas ku surak jeung sora trak-tréktrokna
tatakolan, nepi ka maung téh kaluar tina panyumputan.
Nu moro maung téh
unggul, atuh maungna terus digotong ku opatan dibawa ka lembur dipintonkeun
heula ka nu taratu naha bener maung ieu nu ngaruksak téh. Sanggeus meunang
panyaksi ti para korban, bangké maung téh digotong diiring-iring ku jalma aya
ratusna ka kacamatan Padahérang. Malah di lembur Munggangsempu mah, -lembur nu
ngawates ti gunung ka jalan-, ku alpukahna lurah gotongan maung téh diiring
dogdog: pangheulana gotongan maung nu dihapit ku paburu-paburu maranggul
tumbak, kuli jeung bedil, terus
diiring ku dogdog jeung jalma-jalma éar salusurakan. Teu tinggaleun Ki
Arsadiwangsa nu ngalempréh digotong dina cikrak!
XIV. Nutup Walungan Cirarangkasan jeung
Kiarabandung
Dina bulan April 1933
Wadana Pangandaran, Rd. Prawirasastra minangka ‘jurumudi’ Lakbok Kidul
dialih-tugaskeun ka Ciranjang. Ari nu ngagantina Rd. Sumitra, wadana Ciranjang
Cianjur, putra Kangjeng adipati Bintang, masih terah Sukapura. Cundukna wadana
anyar meneran pisan waktuna jeung Lakbok Kidul banjir gedé, lantaran caah
Citanduy nyéblok daérah Lakbok ngaliwatan dua walungan “anak” Citanduy
Cirarangkasan jeung Kiarabandung nu ngamuara di tatar lakbok Kidul. Tatar
lakbok kidul ngemplang kacaahan aya bulanna tur nimbulkeun karugian nu teu
saeutik pikeun nu maratuh di éta wilayah.
Ku kituna ngabendung
dua walungan nu kuduna merelukeun waktu tilu bulan, bisa réngsé dina waktu tilu
minggu, mangkaning lain gawé énténg-énténg. Cirarangkasan jeung Kiarabandung dibendung sangkan banjir
Citanduy teu nyorog ka Ciséél. Malah
Cirarangkasan mah dijieun dua pendetan mangrupa “balong panjang” nu di
mangpaatkeun pikeun melak lauk keur kahirupan rayat. Banjir Lakbok keur sawatara
waktu bisa diperuhkeun, malah tatar Lakbok Kidul bisa méré hasil nu leuwih hadé
batan saméméhna.
XV.Pésta
Gedé di Rarangkasn Taun 1935
Harita ranca jeung
leuweung Lakbok geus salin jinis jadi lembur, sawah, jeung pakebonan nu
bener-bener bisa méré kahirupan ka sakumna rayat di dinya. Malah kungsi
kamashur jadi ‘gudang paré’ pikeun kabupatén tasikmalaya. Patali jeung éta
urang Lakbok seja ngayakeun pésta salametan minangka sukuran, sabab ngarasa
kahirupan arinyana leuwih onjoy batan ka tukang-tukang.
Nya atuh terus tatahar
pikeun ngayakeun pésta gedé, tempatna di lebah
Ngastina (Rarangkasan) nu barétona mah asalna tegal reunghas nu hara-haraeun,
tapi kiwari jadi lembur pikabetaheun. Tatahar keur pésta téh di antarana
nyieun: lapangan maén bal, rohangan gedé keur paméran hasil bumi Lakbok, rihangan
keur mintonkeun kasenian (tunil jeung maos “Ngabukbak Lakbok), kandang-kandang
sasatoan Lakbok, latar kamonésan rayat (topéng, sulap, sodoran, ujungan),
réstoran keur tuang leueut, babancong, jeung balong-balong pikeun nguseup jeung
susukan keur ‘balap lauk’, kitu deui tegalan pikeun ngadu langlayangan. Atuh
dina waktuna, rarangkasan robah jadi tempat nu kacida raména.
Pésta
Rarangkasan téh lumangsungna dua poé kacida raména. Dina acara resmi di
antarana nyérénkeun tugu pangéling-ngéling dibukana Lakbok ti para priyayi,
pangpangna ti para wadana jeung camat nu kungsi mancén tugas di Pangandaran
jeung Padahérang.
XVI. Lakbok Katarajang Topan (1936)
jeung Banjir Gedé (1937)
Keur sumedeng
ngahenang-ngahening lubak-libuk loba rijki, Lakbok Kidul dina pertengahan
Séptémber 1936 ngadadak katarajang angin topan. Teu lila ukur satengah jam,
tapi karuksakanana kaasup rongkah. Teu lila ti harita aya béja yén Pangawulaan
teu damang wales, malah ceunah nepi ka lalandong ka Batawi. Keur sawatara urang
Pakidulan mah aya topan ngadadak jeung teu damangna Pangawulaan téh jadi
haréwos demit: “boa-boa kila-kila”.
Sawatara bulan ti
harita dina taun 1937 Lakbok katarajang deui banjir gedé, lantaran caah
Citanduy ngabedah tanggul. Cai ngemplang lir sagara, ratusan imah paralid, jalma-jalma
ngarungsi ka tanah nu leuwih luhur. Kabupatén Tasikmalaya ngirimkeun Juragan
Pati jeung Tuan Kontrolir pikeun mariksa kaayaan, langsung ka daérah nu
kabanjiran téa kana parahu. Pasosoré waktu rombongan masih kénéh dina parahu
rék hanjat ka hiji lembur aya kajadian. Rayat guyur, horéng Pangawulaan pupus !
XVII.
Kangjeng
Dalem R.A.A. Wiratanuningrat wapat
Pangawulaan mulih ka
Rahmatullah, layonna dicandak ti Tasikmalaya ka Manonjaya baris dipendem di
makam Tanjunglaya, makam kulawarga jeung para bupati terah Sukapura.
C. BAB III
D. BAB IV
KAUTAMAAN
ISTRI
I
Pada tahun ini (1911)
telah tepat 7 tahun lamanya penulis menjadi guru Sakola Istri (Sekolah Gadis)
di Bandung. Pada mulanya penulis mengikuti kehendak Kanjeng Tuan Inspektur
Sekolah C. den Hamer. Beliaulah yang pertama kalinya mendirikan sekolah bagi
anak-anak wanita pribumi (bangsa Indonesia) di Bandung.
Sekolah tersebut dibuka pada tanggal 16
Januari 1904. Waktu itu muridnya 60 orang dan gurunya 3 orang. Adapun tempatnya
di paseban barat, depan pendopo Kabupaten Bandung yang sekarang (1911)
ditempati kantor Bandoengsche Afdeelings Bank (sekarang BRI).
Sebelum menjadi guru,
penulis senang mengajar anak-anak perempuan, terutama dari kalangan keluarga
sendiri, yaitu mengajar merenda, menyulam, merancang pakaian, dan tatakrama
pergaulan (sopan santun). Ketika dipanggil oleh Kanjeng Tuan Inspektur Sekolah
C. den Hamer bahwa akan diankat menjadi
guru sekolah, penulis sangat gembira.
Apakah Kaum Muda itu
dan bagaimana kehendaknya?
Adapun yang dinamakan
Kaum Muda itu ialah bangsa kita, wanita dan pria pribumi, (suku bangsa) Sunda,
Melayu, Bugis, Makasar, dan lain-lain. Istilah Kaum Muda itu berasal dari
cendekiawan orang Melayu bernama Abdul Rivai.
Yang dipikirkan oleh
penulis siang malam dengan susah payah sekalipun tak lain hanyalah masalah
sekolah wanita terutama hal-hal berikut.
1.
Para orang tua agar ingin menyekolahkan
anak perempuan mereka dan memahami fungsi dan manfaat bersekolah.
2.
Anak-anak sendiri mau bersekolah dan mau
mengikutinya sampai tamat.
3.
Pelajaran apa yang perlu diajarkan
kepada anak-anak perempuan itu serta harus bisa apa dan sampai mana untuk bekal
hidup mereka kelak.
4.
Memperhatikan tingkah laku wanita yang
baik dan yang buruk untuk dijadikan contoh bagi anak-anak.
5.
Kemudian bertanya-tanya kepada orang-orang
tua, para cendekiawan, para bujangga, bahkan kepada para bupati, walaupun segan
memberanikan diri juga, menanyakan apa yang menjadi kebutuhan kaum wanita agar
mereka tidak sampai hidup sengsara.
Adapun usaha yang
dilaksanakan untuk mendidik anak-anak itu tidak ada lagi kecuali dua macam,
yaitu menasehati dan memberi contoh.
Coba apa yang
dilambangkan dengan kapal besar itu?
Adapun yang
dilambangkan dengan kapal besar itu ialah bahwa sekarang ini di Bandung berdiri
organisasi yang diatur oleh Tuan Inspektur Sekolah J. C. J. van Bemmel.
Tujuannya ialah akan memajukan anak-anak perempuan. Oleh karena itu, organisasi
tersebut dinamai oleh Kanjeng Bupati Bandung (R. A. A. Martanegara) Kautamaan Istri (Keutamaan Wanita).
II
A.
Pembentukan Organisasi
Organisasi Kautamaan
Istri berdiri pada tanggal 5 Nopember 1910. Pada waktu itu penulis dipanggil
oleh Tuan Residen W.F.L. Boissevain dan harus menghadap di karesidenan pada
hari Minggu jam 19.00 malam.
Pada pertemuan itu
detetapkan pengurus organisasi, yaitu para nyonya dan para Raden Ayu saja, yang
sama-sama ingin memajukan kecerdasan anak perempuan Sunda.
B.
Cara Kerja
1.
Komisi meminta pengurus agar organisasi
Kautamaan Istri itu mendapat kekuatan yang kokoh (kekuatan hukum).
2.
Pengurus secara bergilir masing-masing
orang (seorang nyonya memeriksa “apa kekurangan sekolah itu, apa yang harus
diajarkan, dan apa yang kurang baik.”
3.
Setelah semua anggota pengurus
mengunjungi sekolah, kemudian komisi mengadakan pertemuan untuk membicarakan
hasil pemeriksaan itu.
C.
Biaya Kegiatan
1.
Kanjeng Tuan Inspektur membuat surat
edaran kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya (pembesar orang Belanda) untuk
memohon bantuan, barangkali mau memberi bantuan berupa uang iuran atau
sumbangan sekali saja.
2.
Begitu pula Kanjeng Bupati Bandung
membuat surat edaran kepada para menak dan orang tua anak-anak sekolah wanita
dengan maksud seperti tersebut (nomor 1) di atas.
3.
Jika uang iuran tidak mencukupi, akan
mengadakan lotre yang besar-kecilnya dan caranya dipertimbangkan oleh Kanjeng
Tuan Residen dan Kanjeng Tuan Inspektur.
4.
Jika uang itu ada lebihnya, akan
digunakan untuk mendirikan sekolah wanita di tempat lain, seperti di Garut atau
dimana saja yang dipandang perlu ada sekolah wanita.
III
Apakah perlu wanita itu
bersekolah supaya pintar?
Sebagian orang berpendapat sebagai
berikut.
1.
“ah, wanita itu tak usah sekolah, karena
walaupun pintar tidak akan punya kedudukan seperti laki-laki.”
2.
“ah, percuma wanita disekolahkan, sebab
kalu sudah pandai menulis, suka digunakan membuat surat-surat cinta sebagai
perbuatan iseng yang mendorong berperilaku tak baik.”
3.
Kaum santri berpandangan, “his, wanita
itu bukan disekolahkan, melainkan agar mempelajari pengetahuan agama, belajar
salat, mempelajari sifat 20, dan tasawuf supaya baik hati dan untuk menahan
nafsunya, karena wanita itu harus teguh benteng pertahanannya.”
4.
“wanita itu tidak boleh terlihat oleh
laki-laki lain, kecuali oleh suaminya dan muhrimnya. Oleh karena itu wanita
tidak baik disekolahkan.”
IV
Sekolah itu disebut “de
bron van het leven” (modal hidup) oleh Kanjeng Tuan Inspektur. Sebab, selain
pelajaran pokok, anak-anak itu diberi pelajaran lain lagi sebagai berikut.
1.
Kebersihan
2.
Tatakrama
3.
Berbicara
4.
Disiplin dalam pemakaian waktu
5.
Taat
6.
Gembira
7.
Baik hati
8.
Hemat
9.
Berpikir atau memilih
V
Sekarang akan menceritakan
pendapat dokter tentang anak.
Menurut Dr. Raden
Saleh, penyakit itu ada 2 macam.
1.
Penyakit karena pembawaan; sejak lahir
penyakit itu sudah ada.penyakit itu disebut penyakit keturunan (ervelijke
ziekten atau kealen). Artinya penyakit itu sifat dan tabiatnya merupakan
keturunan dari orang tua.
2.
Penyakit adat kebiasaan; yaitu penyakit
yang datang kemudian sesudah lahir, seperti sakit kepala, sakit ulu hati, sakit
perut, dan lain-lain.
Kaum wanita bangsa
pribumi itu pertama-tama harus tahu tentang segala macam urusan wanita. Hal itu
menurut hemat penulis ada 6 macam.
1.
Mengurus anak sejak bayi hingga masanya
untuk disekolahkan
2.
Menjaga anak selama masih sekolah
3.
Sesudah dewasa dan tamat sekolah
4.
Mempunyai suami dan berumah tangga
5.
Tidak bersuami atau ditinggal suami
tidak aka nada yang memberi nafkah
6.
Kehidupan wanita disamping mempunyai
suami
Sumbangsih
raden dewi sartika
Wanita Bumiputera
Apakah yang diperlukan
untuk peningkatan intelektual dan moral wanita bumiputera pada umumnya?
Menurut hemat saya yang
sederhana, dalam hal ini perbedaan wanita dengan pria tidaklah sangat besar.
Disamping berpendidikan, wanita itu harus terpelajar pula. Perluasan
pengetahuan akan berpengaruh terhadap moral wanita. Pengetahuan demikian
diperoleh hanya di sekolah.
Pendidikan dimaksud
terutama meliputi hal-hal sebagai berikut.
1.
Pelajaran mengurus rumah tangga
2.
Pengetahuan tentang adat istiadat
3.
Pelajaran di dapur
4.
Pelajaran merawat orang sakit
5.
Pelajaran agama
Pendidikan melalui
sekolah yang dewasa ini dapat dicapai oleh puteri-puteri kita, masih sangat
tidak mencukupi.
Seyogiayanya upaya
perluasan pendidikan kejuruan bagi kaum wanita untuk pekerjaan sebagai bidan,
kerani (klerk), juru tik, pemegang tata buku (boekhoudster), petani bunga, dan
sebagainya haruslah didukung. Dalam masyarakat Eropa ttelah ditarik banyak
manfaat dari wanita sebagai pekerja, sebagaimana diketahui dari
kenyataan-kenyataan yang ada. Maka saya tidak mengerti mengapa manfaat seperti
itu tidak dapat ditarik dari kaum saya sendiri.
Pengaruh pendidikan lambat
laun berperan pula dalam perkawinan anak, sebelum orang sama sekali insaf
tentang kekeliruan perkawinan anak-anak. Maka lagi-lagi sang wanita sendirilah
yang harus menyadari bahwa perkawinan baru sempurna, apabila berdasarkan
kemauan yang bebas dari pria dan wanita calon pengantin, bukan karena terpaksa
mengikuti kehendak orang tua mereka.
Isteri harus taat
menjadi abdi suami. Ia harus begitu karena tidak berdaya. Ia tidak pernah hidup
mandiri, maka ia tidak akan tahu bagaimana memperoleh kebutuhan hidup dengan
cara yang jujur, jika ia diusir dari rumah suaminya.
KONSEP PENDIDIKAN RADEN DEWI
SARTIKA
Endang Saifuddin
Anshari, M.A. dalam tulisannya pada Bulletin
Masjid Salman ITB awal tahun 1980-an menyatakan bahwa keunggulan R. Dewi
Sartika dibandingkan dengan R.A. Kartini dalam rangka upaya memajukan kaum
wanita Indonesia adalah R. Dewi Sartika telah mencapai tingkat yang kongkrit
dalam bentuk terwujudnya lembaga pendidikan yang dinamai Sakola Istri,
sedangkan R.A. Kartini baru dalam tingkat pemikiran dan keinginan. Sementara
itu, seorang sejarawan senior di Bandung pernah mengatakan bahwa kelemahan R.
Dewi Sartika terletak pada belum adanya konsep pendidikan yang mendasari lembaga
pendidikan yang didirikannya.
Pendekatan Lingkungan
Dalam rangka menyusun
konsep pendidikan bagi kaum wanita, Dewi Sartika melakukan pendekatan terhadap
lingkungan sekitarnya, terutama lingkungan social budaya. Ia melakukan
pengamatan dan analitis terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat
sekitarnya (masyarakat Sunda), kedudukan dan peranan wanita di dalam masyarakat
itu, pandangan masyarakat terhadap pendidikan kaum wanita, masalah-masalah yang
dihadapi kaum wanita, serta arah perkembangan pendidikan dan kemajuan
masyarakat yang sedang berjalan, terutama perkembangan pendidikan dan kemajuan
kaum wanitanya.
Pada masa itu sedang
terjadi proses perubahan yang bias membawa perbaikan dan kemajuan kepada
kehidupan wanita, jika mereka mengikuti arus perubahan itu. Perubahan dimaksud
merupakan dampak positif dari dibukanya sekolah-sekolah model Barat bagi
masyarakat pribumi (Indonesia) sejak pertengahan abad ke-19.
Lembaga pendidikannya
ditunjang oleh perkumpulan yang dinamai Kautamaan Istri yang didirikan pada
tanggal 5 Nopember 1910. Perkumpulan ini
didirikan oleh sejumlah pejabat dan istri mereka, antara lain Bupati Bandung
R.A.A. Martanagara dan Inspektur Sekolah J.C.C. van Bemmel. Itulah sebabnya,
sejak itu nama sekolahnya diganti menjadi Sakola
Kautamaan Istri.
Ada beberapa factor
yang menjadi motivasi Dewi Sartika sehingga mendirikan sekolah khusus bagi anak
perempuan dan menjadi gurunya.
1.
Melihat kemajuan bangsa Eropa
2.
Sering terjadi wanita terjerumus dalam
jurang kehinaan (menjadi pelacur)
3.
Jabatan guru menempati martabat
tertinggi dalam tatanan masyarakat
4.
Guru itu memiliki pengetahuan yang luas
5.
Guru berperan sebagai penuntun
masyarakat
Walaupun banyak
rintangan yang dihadapi, seperti cemoohan dan ejekan, tetapi Dewi Sartika tetap
pada pendiriannya. Siang dan malam ia berupaya keras dan terus-menerus bekerja
untuk memajukan sekolah yang didirikan dan dipimpinnya. Adapun maksud pendirian
sekolah itu sebagai berikut.
1.
Agar orang tua mau menyekolahkan
putri-putrinya karena menyadari gunanya sekolah
2.
Agar anak-anak perempuan mau bersekolah
sampai tamat
3.
Untuk memberikan bekal hidup kaum wanita
melalui kurikulum sekloah yang terus dilengkapi
4.
Agar sikap dan perilaku kaum wanita
makin lama makin baik
E. BAB V
Hubungan Antara Suara Hati Dalam Musik Populer Sunda
di Era Globalisasi
Musik sunda
merupakan salah satu musik tradisional yang telah lama dikenal oleh banyak
orang. Lirik dari musik Sunda cenderung dalam bahasa setempat. Instrumentasi
dan idiom musik yang digunakan juga berkaitan dengan tradisi masyarakat Sunda.
Seperti
halnya musik populer, musik Sunda pun banyak diperkenalkan di majalah lokal
juga nasional dan surat kabar, disiarkan oleh stasiun radio lokal dan nasional,
dan disajikan juga dalam media elektronik.
Adapun fokus
dari musik Sunda sebagai musik populer diantaranya : (1) identitas bagi
masyarakat dan daerah tertentu, memainkan peran penting dalam dialog kekuasaan
antara lokal, nasional, dan global. (2). Dalam artistiknya menyeimbangkan tradisi dan inovasi, mediasi
teknologi dan budaya globalisasi dalam domain media massa, internet dan
bentuk-bentuk musik baru dan idiom. (3) bertindak sebagai komentar untuk
mengubah masyarakat di zaman pergeseran identitas dan kepekaan.
POP Sunda
Musik
populer Sunda (pop sunda) mempunyai daya tarik terhadap para penikmatnya di
luar negeri di luar Indonesia. Hal ini menyebabkan telah banyaknya para sarjana
yang meneliti mengenai musik pop Sunda. Walaupun, banyak hal yang tidak mereka
ketahui. Contoh yang paling terkenal dalam pop sunda diantara sebagiannya yaitu
jaipongan dan degung kawih.
Degung kawih
dan jaipongan menjadi populer di Indonesia,
meskipun fakta bahwa teks-teks lagu mereka menggunakan bahasa Sunda.
Salah satu alasannya yaitu berkaitan dengan standar produksi yang tinggi dari
album, dan sebagai popularitas bahwa sunda, sebagai kelompok etnis terbesar
kedua di Indonesia, setelah Jawa.
F.
BAB VI
Silsilah
Prabu Siliwangi, Matera Aji cakra, Darmapulih Hyang Niskala dan Ajaran Islam
Dalam bab empat ini kita
diperkenalkan tentang suntingan dan terjemahan tentang tiga naskah lontar Sunda
(kroplak 420, kroplak 421 dan kroplak 422) yang menceritakan tenntng silsilah
prabu Siliwangi, matera aji cakra, ajaran pra-islam dan ajaran islam. Di tulis
pada daun lontar dan menggunakan peso pagot. Umumnya menggunakan aksara Sunda
kuna serta bahasa Sunda Kuna, jawa dan Arab.
A.SILSILAH PRABU SILIWANGI
Inilah silsilah keturunan prabu siliwangi. (prabu
siliwangi) berputra mundingsari Ageung, (mundingsari Ageung) berputra
mundingsari Leutik, (mundingsari Leutik ) berputra Raden panglurah, (raden
Panglurah) berputra pucuk umun, (Pucuk umun) berputra Sareupeun negara.
Sareupeun negara berputra sunan parung, (sunan
parung) berputra sunan talaga manggung, (sunan talaga manggung) berputra sunan
dampal, (sunan dampal) berputra sunan genteng, (sunan genteng) berputra sunan
wanaperih, (sunan wana perih) berputra sunan ciptarengga, (sunan cipta rengga)
berputra santoga astra, (santoga astra) berputra Eyang wargasita, (eyang
wargasita) bersaudara dengan ki entol nayawangsa.
B.MANTRA AJI CAKRA
Ini
panyukat aji cakra
Ku Si Naga Nagini
Ku Si Naga Nagini
Sang
Manon Sang Matongton
Cupu
bahuk udang lulus
Ila-ila
ku Sang hyang Waruga Bumi
Ila-ila
ku Sang Hyang Waruga Lemah
Satitis
Waruga Bumi
Satitis
Waruga Lemah
Sang
awaking na tutunggul
Megar
catang megatkeun apus
Kayu pupug kayu sepug
Kayu pupug kayu sepug
Kayu
ku si balebatan
Kayu
ku si Kahuripan
Hurip
bayu
Kumeleper
buyut agul
Nu
neureuy bwana ini
Saha
nu kolot sorangan
Basa
keur cang keur bungbang
Basa
keur lemah.
Langit ngarus Sri Lenggang
Langit ngarus Sri Lenggang
Sri
maya lenggang
Ngaran
lemah caki
Sri
Man Sri Wacana
Sri
Baduga Maharaja
Sang
Ratu Hyang Banaspati
Nu nyahleur di Rancamaya
Nu nyahleur di Rancamaya
Ditutug
Watubeusi.
Hong
hakasa dewakata
Turun
bayu ngawisesa awaking
Turun
murba ka bwana panca tengah
Ya piyangpi geni, Ya husipat bwana,
Ya piyangpi geni, Ya husipat bwana,
Ya
hucaya ning bwana, Ya husipat langgeng,
Nu
ngawisesa di bwana, Sang ratu Libung Gumur
Nu
temetes saking Meukah,
Nu
mungguh saking kidul
Dat
muliya sapurna hidattulah
Sang Ratu Kilat Barahma,
Sang Ratu Kilat Barahma,
Nu
temetes saking Meukah
Nu
mungguh saking kaler
Twa
Darma Makilat
Tumurun
saking Meukah,
Nu
mungguh saking wetan.
Twa
jempi larang,
Tumurun
saking Meukah.
E Sang Bapa Putih
E Sang Bapa Putih
Sang
Baga lumenggang
Rat
muta rat mutayu,
Rat
saking urip.
C.MANTRA DARMA PULIH HYANG NISKALA
Ini
darma pamulih hyang niskala
Ku
aci darma pamulih
Ku
aci nusya sakti
Ngageugeuh
nusya sakti
Ngageugeuh
nusya larang
Aci
putih herang jati
Di
jero ning jembawasa salira
Salawasna
dimanikan
Mangka
datang ka bulanna
Mukakeun
kowari manik
Sawetuna
ti tan hana
Salawasna
nyarita di bwana
Mangkana
nepi ka mangkana
Dongkap
ka mangsa
Pulang
deui ka tunnana
Bayu
tan metu
Sabda
tan muwah
Hedap
tan ngaruan
Kurungan
tan keneng tumuwuh
Aci
raga purna jati
Purna-purna
palipurna
Tap
digalah dikukuhan
Dipagahan
ku aci darma pamulih
Sang
de dewata kaliwara
Ku
berata naga palipurna
Tukuh
ku sang hyang caya bayak beulah
Sang
hyang caya bayak beulah
Sang
hyang cupumanik kilat kancana
Bayarayamram
caang beurang
Seda
kalang seda sakti mahabara
Ja
aing wenang larang leuwih sorangan
Sabda
pamulih kajatianana
Darma
si gendi nitis tipuncak
Dewata
naga nanggeuy na lemah
Sarereana
aci bayu
Katema
ku nyawa-nyawa
Katema
ngereh genter
Tuluy
ngambangan hurip
Hedap
katineung
Tuluy
ka sunyia lawan taya
Tuluy
ka sang hyang suka denge
Katema
ku betara indra
Tuluy
ka panon gelang bwana
Tas
ma telas mulih ka jatianana
I
pangarumanana bayak beulah
Mayukpuk
putih herang ngalenggang
Bayu
ning kadi paya ning di teubeuh ku aer mawar
Arum-arum
akub-akub
Metu
aci pangarumanana
Awaking
kastori jati ( kastori jati)
Awaking
ku cimanik larang dewata
Kurungan
manik teja putih
Ngaran
panglebur bajra
Ku
cimanik larang dewata
Kurungan
manik teja putih
Ngaran
panglebur raga awaking
Teka
lebur jadi cai
Tas
ma telas mulih ka jatianana
Raga
katema ku hyang bayu pretiwi
Katema
ku pwa basuki
Katema
ku syi awak larang
Katema
ku sang hyang gresik putih
Los
ka sawarega ri kahyangan
Buni
pangruwatanana
Ruwat
ku sang darmajati
I
panglembur ku sang hyang guru tasmat (satmat)
Punika
kula sasadu
Kang
nganulis ping ti kanggang
Sang
amaca pun
assadu
maring hyang widi
mangra
betara sakabeh
D. AJARAN ISLAM
Bismilah
hirahman hirahmin
Assahhadu
anla ilahlalah
Wassa
adu ana mukadaman rasululah
Sun
angawruhi satuhune
Ora
nu kasine mbah ing
Hanane
kang tetep kang langgeng
Kang
suci kang luwih suci
Kang
murba ing diri
Ning
wujud helmu anu suhud
Lah
iya maher luhung
Lah
iya hora kawula dadi gusti
Lah
iya maher luhung
Punika
tedak saking agama suci
Saking
kangjeng pangeran sumanagara
Asahhadu
sahe karbanyar
Suci
alahheka rasululah
Banyu
suci metu saking
Ti
mulah karsa allahhu
Hing
dina dina saptu
Usali
parilan anglalahor ri
Areba
urakatin adaan imaman
Lilah
ita alah allah huhabar
Usali
parilan anglalahor ri
Areba
urakatin adaan (imaman)
Lilahhi
taalah, Alah hu akbar
Usali
parelan magribi
Sarasa
rakatin adaan ( imaman)
Lilahhi
taalah, alahuu akbar
Usali
parelan isa’i
Areba
ngurakaatin adaan imaman
Lilahi
ta alah, Alah huhabar
Usali
parewas subuh’i
Rakataheni
adaan imaman
Lilahhi
taalah Alahu akbar
Kabira
walkamdu lilahhi kasirran
Pasubahanalah
hibukratan wahasila
Subahana
rabiyal halin awabikamdihi
Subahana
rabiyal alim wabihamdihi
Ruku
Samiyalah
uliman
Uroba
lakal hamdu
Subahana
rabiyal lala wabikam
Sujud;
tangi sujud
Wabi
parreli wara amni
Warah
jukni wadini wah apwani
Atasiyat
tulilahhi
Salaman
alaeka ahannabiyu
Waramaktulahhi
wahbarrekattuh
Asalamun
alaekatuh
Annabiyu
warshmsttulahiwabarakattu
Usalimun
alaena paalla ibadillah him saliim
Hasada
hanlahhilah hahilalah
Waassaduana
muhamandan rasululah
Alah
umasali alah muhamaddin
Walali
muhamad
Samialah
huliman kamida
Hurabana
lakal kamdu
Rabu
samawati wal harli
Nini
serepet kaki serepet
Sing
kidang majangngan nerepet
Ta
sing batu kayu watu
Pupu
repug rerep sirep
Sirep
diingu ku puti
Lebur
ajur dadi banyu
Lebur
diksa jata putih
Sang
ratu maring alah
Masup
metu maring guha
Bubar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar