Bab I
Identitas Buku
Judul
|
: Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (revisi
kedua)
|
No. ISBN
|
: 978-979-024-115-2
|
Penulis
|
: M.C. Rickefs
|
Penerbit
|
: Serambi
|
Tahun Terbit
|
: 2008
|
Jumlah Halaman
|
: 866
|
Jenis Cover
|
: Hard Cover
|
Dimensi(L x P)
|
: 150x235mm
|
Kategori
|
: Sejarah Indonesia
|
Teks Bahasa
|
: Indonesia
|
Cover
Buku :
Bab II
Isi Buku
Kedatangan
orang-orang Eropa yang pertama di Asia Tenggara pada awal abad XVI dan Kekuatan besar yang sedang berkembang di
dunia saat itu adalah islam; pada tahun 1453, orang-orang Turki Usmani
menaklukan Konstantinopel. Akan tetapi orang-orang Eropa, terutama orang-orang Portugis,
mencapai kemajuan-kemajuan dibidang teknologi tertentu yang kemudian melibatkan
bangsa Portugis dalam salah satu petualangan mengarungi samudera yang paling
berani sepanjang zaman. Dengan bekal pengetahuan geografi dan astronomi yang
bertambah baik banyak darinya berasal darinya berasal dari bangsa Arab, yang
sering kali tersebar dikalangan kristen Eropa lewat para sarjana Yahudi.
Bangsa
Portugis tidak hanya mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi yang memungkinkan
mereka berekspansi ke sebrang lautan; mereka juga memiliki tekad dan
kepentingan untuk melakukan itu atas dasar dorongan Pengeran Henry “Si Mualim”
(1460) dan para pelindung lainnya, para petualang dan pelaut Portugis memulai
pencarian mereka menyusuri pantai barat Afrika untuk menemukan emas, memenangi
pertempuran, dan meraih jalan untuk mengepung lawan yang beragama islam. Mereka
juga berusaha mendapatkan rempah-rempah, yang berarti mendapatkan jalan ke Asia
dengan tujuan memotong jalur pelayaran para pedagang islam yang melalui tempat
penjualan mereka di Venesia di Laut Tengah (Mediterania. Pada tahun 1487,
Bartolomeus Dias mengitari Tanjung Harapan dan memasuki perairan Samudera HIndia.
Pada tahun 1497 , Vasco de Gama sampai di India. Pada tahun 1503, Alfonso de
Albuquerque berangkat menuju India, dan pada tahun 1510 dia menaklukan Goa
dipantai barat kemudian yang kemudian menjadi pangkalan tetap Portugis.
Setelah
mendengar laporan-laporan pertama dari para pedagang Asia mengenai kekayaan Malaka
yang sangat besar, maka raja Portugal mengutus Siogo Lopes Sequera untuk
menemukan Malaka, pada tahun 1509. Pada mulanya dia di sambut baik oleh Sultan
Mahmud Syah (1488-1528), tetapi kemudian komunitas dagang islam internasional
yang ada di kota itu meyakinkan Mahmud bahwa Portugis merupakan ancaman besar
baginya. Akhirnya Sultan Mahmud berbalik melawan Sequira, menawan beberapa
orang anak buahnya dan membuang beberapa orang yang lain. Ia juga mencoba
menyerang empat kapal Portugis, tetapi keempat kapal tersebut berlayar ke laut
lepas.
Pada
bulan April 1511, Albuquerque melakukan pelayaran dari Goa menuju Malaka dengan
kekuatan kira-kira 1200 orang dan 17 atau 18 buah kapal. Peperangan pecah
segera setelah kedatangannya dan berlangsung secara sporadis sepanjang bulan Juli
dan awal Agustus. Albuquerque tinggal di Malaka sampai November 1511.
Segera
setelah Malaka ditaklukan dikirimlah misi penyelidikan yang pertama ke arah
timur di bawah pimpinan Fransisco Serrao. Pada tahun 1512 kapalnya mengalami
kerusakan, tetapi dia berhasil mencapai Hitu (Ambon sebelah utara). Para
penguasa kedua pulau yang bersaing, Ternate dan Tidore, untuk menjajaki
kemungkinan memperoleh bantuan dari Portugis.
Hubungan
Portugis dengan Ternate berubah menjadi tegang karena upaya (yang agak lemah) Portugis
melakukan Kristenisasi dan karena perilaku tidak sopan dari orang-orang Portugis
sendiri pada umumnya. Pelosok di ujung lain dunia ini jarang menarik perhatian
orang Portugis terkecuali orang-orang yang putus asa dan serakah. Pada tahun
1545 Raja Ternate Raja Tabariji yang telah masuk kristen wafat. Namun sebelum
wafat, dia telah menyerahkan pulau Ambon kepada orang Portugis yang menjadi
ayah baptisnya, Jordao de Freitas.
Setelah
bangsa Portugis datanglah orang-orang Belanda, mereka membawa organisasi,
persenjataan, kapal-kapal. Pada tahun 1595, ekspedisi Belanda yang pertama siap
berlayar ke India timur. Sebanyak 4 buah kapal dengan 249 awak dan 64 pucuk
meriam berangkat di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Pada bulan Juni 1569, kapal-kapal
de Houtman tiba di Banten yang merupakan pelabuhan lada terbesar di Jawa Barat.
Di situ orang-orang Belanda segera terlibat dalam konflik, baik dengan
orang-orang Portugis maupun dengan orang-orang pribumi. Pada tahun 1597,
sisa-sisa ekspedisi itu kembali ke negeri Belanda dengan membawa cukup banyak rempah-rempah
di atas kapal mereka untuk menunjukan bahwa mereka mendapat keuntungan. Pada
tahun 1598, 22 buah kapal milik lima perusahaan yang berbeda mengadakan
pelayaran; 14 diantaranya akhirnya kembali. Armada yang berada dibawah pimpinan
Jacob van Neck lah yang pertama tiba di “kepulauan rempah” Maluku pada bulan
Maret 1599 dimana rombongannya diterima dengan baik; kapal-kapalnya kembali ke Belanda
pada tahun 1599-1600 dengan mengangkut cukup banyak rempah-rempah yang
menghasilkan keuntungan 400 persen.
Pada
tahun 1598, Parlemen Belanda (Staten Generaal)
mengajukan sebuah usulan perseroan-perseroan yang saling bersaing itu
seharusnya menggabungkan kepentingan mereka masing-masing ke dalam suatu kesatuan,
dan pada bulan maret 1602 terbentuk perserikatan maskapai Hindia timur, VOC (Vereening-de Oost-Indische Compagnie).
Pada
tahun 1610 diciptakan jabatan gubernur jenderal dan untuk mencegah kemungkinan
kekuasaan gubernur jenderal yang
bersifat despotis, maka dibentuklah dewan Hindia (Raad van indie) untuk menasihati dan mengawasinya. Selama masa
jabatan tiga orang gubernur jenderal yang pertama (1610-1619), yang dijadikan
pusat VOC adalah Ambon, tetapi tempat ini ternyata tidak begitu memuaskan sebagai
markas besar.
Pada
tahun 1600, Elizabeth I memberi sebuah oktroi kepada maskapai Hindia timur (The
East India Company), dan mualilah Inggris mendapat kemajuan di Asia. Pada tahun
1604, pelayaran kedua Maskapai Hindia Timur Inggris yang dipimpin oleh Sir
Henry Middleton berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon, dan Banda. Akan
tetapi, di wilayah ini mereka mendapat perlawanan dari pihak VOC, dan
dimulailah persaingan sengit Inggris dan Belanda untuk mendapat rempah-rempah.
Pada
tahun 1619, Jan Pieterszoon Coen menjadi gubernur jendral
(1619-1623,1627-1629), Coen lebih menyukai Jayakerta (Jakarta) yang di kuasai
oleh Pangeran Wijayakarma, untuk dijadikan sebagai markas besar VOC yang
permanen. Dan VOC pun berhasil menduduki Jayakerta dan mengubah namanya menjadi
Batavia. Akan tetapi, timbul pula dampak-dampak yang kurang menguntungkan bagi VOC.
Pendudukan permanen atas Batavia itu memerlukan banyak biaya untuk
mengelolanya.
Negara-negara
Baru yang menganut agama islam muncul di Indonesia ketika orang-orang Eropa
tiba untuk pertama kalinya, ada tiga negara yaitu : Aceh, Jawa, dan Sulawesi
selatan.
Pada
awal abad XVII, untuk beberapa waktu lamanya, Aceh muncul sebagai negara yang
paling kuat, makmur, dan beradab dikawasan tersebut. Penguasa Malaka, Sultan
Mahmud, meninggalkan ibu kota negaranya yang
telah dikalahkan oleh orang Portugis, dan beberapa kali berpindah
tempat, akhirnya dia berhasil menegakan kembali dinasti Malaka di Johor pada
tahun 1518.
Di
seberang selat Malaka, Aceh sedang tumbuh sebagai sebuah negara yang kuat pada
saat kedatangan orang-orang Portugis. Sebelum kira-kira tahun 1500, Aceh
belumlah begitu menonjol. Sultan pertama kerajaan yang sedang tumbuh ini adalah
Ali Mughayat syah (1514-1530). Selama akhir abad XVI, Aceh tetap merupakan
suatu kekuatan militer sangat penting di kawasan selat Malaka. Akan tetapi,
negara ini sering dihambat oleh pertikaian dalam negeri.
Pada
awal Abad XVII, penguasa terbesar diantara penguasa-penguasa aceh menduduki
singgasana. Dalam dalam waktu singkat, Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
membentuk Aceh menjadi negara yang paling kuat di nusantara bagian barat.
Negara Aceh di bawah pemerintahan Iskandar Muda, dalam masa yang dianggap
sebagai “zaman keemasan”.
Di
Jawa berdiri negara-negara baru yang sudah menganut Islam. Mula-mula ada
beberapa negara yang berpengaruh, tetapi pada awal abad XVII hanya tinggal tiga
pusat politik utama yang mengonsolidasikan kekuatan mereka: Banten di Jawa Barat,
Mataram di wilayah pedalaman Jawa Tengah, dan Surabaya di Jawa Timur.
Negara
Islam yang paling penting di wilayah pantai utara Jawa pada awal Abad XVI
adalah Demak. Pada masa itu, Demak merupakan sebuah pelabuhan laut yang baik,
walaupun timbunan lumpur yang sangat banyak dipantai pada abad-abad berikutnya
telah menjadikan demak sekarang terletak beberapa kilometer dari laut. Demak
didirikan pada perempat terakhir abad XV oleh seorang asing yang bernama islam,
yang kemungkinan orang Cina bernama Cek Ko-po. Putranya diberi nama “Rodim”
oleh orang-orang Portugis, yang kemungkinan besar sama dengan Badruddin atau
Kamaruddin; tampaknya dia meninggal sekitar tahun 1504. Pada masa perluasan
militer Demak, kerajaan Hindu-Budha di Kediri berhasil ditaklukan sekitar tahun
1527. Usaha-usaha penaklukan yang dilakukan demak yaitu kerajaan-kerajaan yang
belum menganut islam. Pada pertengahan kedua yaitu pada abad XVI, harapan Demak
untuk menguasai Jawa hancur berantakan. Penguasa Demak yang keempat yaitu
Sultan Prawata, agak nya tidak berusaha melancarkan aksi-aksi seperti yang
telah dilakukan pendahulunya, Trenggana.
Pada
pertengahan kedua abad XVI, muncul dua kekuatan baru di wilayah pedalaman Jawa
Tengah yaitu kerajaan Pajang dan Mataram (lokasi kota Surakarta dan Yogyakarta)
merupakan daerah-daerah pertanian yang sangat subur. Kerajaan Pajang yang
pertama kali muncul, Mataram adalah daerah yang menghasilkan dinasti Jawa
modern yang paling lama. Ada juga
kerajaan di Jawa Timur yaitu Surabaya, sebuah dokumen VOC dari tahun 1620
menggambarkan Surabaya sebagai sebuah negara yang luas dan kaya. Luasnya kurang
lebih lima mil Belanda (kira-kira 37 km), yang dikelilingi sebuah parit dan
diperkuat dengan meriam. Di luar Jawa juga yaitu Bali ada sebuah kerajaan
bernama Kerajaan Gelgel selama masa keemasannya pada Abad XVI.
Di Sulawesi Selatan terdapat beberapa negara kecil
yang terbagi antara dua suku bangsa serumpun, Makassar dan Bugis. Kedua suku
bangsa ini sangat terkenal karena reputasi mereka sebagai prajurit-prajurit
yang paling ditakuti di Nusantara dan mereka juga prajurit-prajurit yang profesional.
Pada tahun 1605 Raja Gowa memeluk islam. Tampaknya ajakan terhadap Bone, negara
orang-orang dari suku bugis , dan negara-negara lain supaya memeluk agama baru
ini ditolak. Gowa menanggapi penolakan itu dengan melancarkan serangkaian
serangan pada tahun 1608-1611 sehingga mengakibatkan tersebarnya agama islam di
seluruh wilayah Bugis-Makassar.
Negara-negara baru yang muncul di Indonesia yang
bercorak agama Islam menciptakan sebuah budaya yang beraneka ragam yang tidak
hanya bernapaskan Islam tetapi juga dipengaruhi oleh kebudayaan pra Islam juga.
Pada saat itu tidak ada kesatuan ‘Indonesia’, yang ada hanyalah kelompok
kelompok yang memiliki tradisi di suku-suku tertentu. Kelompok yang melakukan
perniagaan laut menjadi kelompok yang dapat menembus batasan bahasa karena
adanya bahasa lingua franca.
Di Nusantara bagian barat, Melayu
klasik yang pengaruh Islamnya kuat berkembang di Sumatera dan Semenanjung
Malaya. Malaka menjadi model bagi penguasa Melayu bukan hanya dalam hal politik
teapi juga dalam hal budaya adanya kitab
Sejarah Melayu. Muncul juga karya-karya berbahasa Melayu dari Hamzah
Fansuri, Syamsuddin, Abdurrauf dan Nuruddin ar – Raniri. Dalam perbedaan aliran
tulisan karyanya, terjadi perdebatan karena ar – Raniri mengangap bahwa aliran
karya Hamzah dan Syamsuddin yang beralirah tasawuf ia anggap sebagai klenik.
Tetapi karya Hamzah dan Syamsuddin dapat diterima dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia lainnya dan pada saat pemerintahan Iskandar Muda, Syamsuddin
dapat dukungan dari beliau.
Pada tahun 1637, ar – Raniri tiba di
Aceh dengan perlindungan Sultan Iskandar Tsani. Ia menghukum penganut tasawuf
dengan cara membakar buku buku karya Hamzah dan Syamsuddin. Ia membuat karya
buku dengan dasar penetapan kaidah-kaidah kesastraan dan apa yang ia pandang
segbagai norma keagamaan yang ortodoks dan buku yang terkemuka hasil karyanya
adalah Bustan as-Salatin (Taman Raja Raja). Sedangkan pada masa Ratu Taj’ul
Alam, Abdurrauf menjadi pengarang terpenting di istana Aceh. Selain Bustan as-
Salatin ada Taj as-Salatin berisi tentang ajaran ajaran ortodoks manusia dan
Tuhan. Ada pula hikayat hikayat dunia Islam yaitu Iskandar Dzulkarnain dan
Hikayat Amir Hamzah.
Hikayat Sri Rama, Hikayat Pandawa
Jaya merupakan karya sastra Melayu yang beraliran Hindu dan kisah-kisah Hindu
tersebut menjadi dasar alur cerita dari wayang kulit. Di samping karya sastra
di atas, ada juga kronik yang merupakan suatu gaya kesastraan Melayu yang
penting tampaknya telah ditulis pada masa pemeerintahan Iskandar Muda. Sebagian
besar karya diatas berbentuk prosa.
Terdapat perbedaan yang mencolok
antara karya sastra Jawa dan Melayu, dimana si Jawa penulisan sastranya dalam
tulisan India berbeda dengan Melayu yang menggunakan tulisan Arab serta karya
sastra Jawa sering membuat sastra dalam bentuk sajak macapat kira kira 20 bait
mantra. Pertunjukan wayang di Jawa merupakan sarana penting dalam memelihara
dan mempertahankan peninggalan Hindu-Budha di Jawa yang sudah mengalami proses
Islamisasi tetapi masyarakat Jawa tidak sadar bahwa hal itu berasal dari masa
pra Islam. Kebudayaan Islam juga mempengaruhi sejumlah besar cerita roman Jawa.
Konflik yang teejadi di Aceh tidak
terjadi di Jawa sebelum abad XIX, dari naskah Islam di Jawa dapat diketahui
bahwa kalangan masyarakat Jawa berlaku ajaran tasawuf. Pada akhir abad 18 dan
19 Islam Jawa membentuk pola ‘sintesis mistik’ yang ciri cirinya: 1. Identitas
kesilaman yang kuat, yaitu seorang Jawa haruslah seorang muslim, 2. Taat pada
rukun islam, tetapi juga 3. Kepercayaan pada kekuatan gaib lokal Jawa. Poin
terakhir tersebut menimbulkan pertentangan.
Kronik atau babad merupakan bagian
penting dalam kesastraan Jawa seperti Babad Tanah Jawi yang biasanya kronik itu
lebih memusatkan pada perhatian terhadap raja raja, pahlawan, pertempuran dan selingan-selingan
romantis. Pengenalan identitas pengarang sastra di Jawa sulit diketahui, hanya
Carik Bajra atau Tirtawiguna yang dapat diketahui dari dokumen VOC. Ia aktif di
istana Kertasura dan menciptakan Babad Kartasura dan karya-karya lain. Ia juga mendorong
munculnya banyak karya yang bersemangatkan Islam termasuk terjemahan kisah Amir
Hamzah ke dalam bahasa Jawa berjudul Serat Menak.
Yasadipura I bisa disebut sebagai
penulis terbesar di Jawa sebelum adab 19 apabila karya yang dinisbahkan
kepadanya benar ditulis olehnya saendiri. Ia menghasilkan 4 buah karya yaitu
Serat Rama, Serat Bratayuda, Serat Mintaraga, dan Lokapala, ia juga membuat
terjemahanan Serat Menak, Dewa Ruci, Serat Panitisastra, Tajus as-Salatin dan Tapel
Adam serta ia juga menulis karya yang sifatnya sejarah yaitu Serat Cabolek dan
Babad Giyanti.
Kesastraan Bali dapat dibagi menjadi
3 berdasarkan bahasanya yaitu Jawa Kuno, Jawa-Bali, dan Bali. Jawa Kuno
mencerminkan peranan penting Bali dalam mempertahankan warisan kesusastraan
Jawa pra-Islam. Orang-orang Bali menolak agama Islan dan tetap mempertahankan
warisan kesastraan dan agama di Jawa yang telah berubah namun tidak pernah
terhapus akibat Islamisasi. Kesastraan yang berbahasa Jawa-Bali sebagian besar
didominasi oleh kidung atau nyanyian berisi legenda-legenda yang romantis zaman
Majapahit atau tokoh-tokoh pahlawan
rakyat bukan para bangsawan. Ada pula sastra Jawa-Bali tentang keagamaan
dan kronik Pararaton. Kesastraan yang ketiga yaitu bahasa Bali berisi tentang
sejarah kerajaan mereka yang lebih banyak dalam bentuk babad. Bentuk-bentuk
lain kesastraan juga ditulis dalam bahasa Bali, yang sering sangat dipengaruhi
oleh cerita-cerita atau norma-norma
kesastraan Jawa Kuno dan Pertengahan.
Wayang Bali memiliki persamaan
dengan wayang di Jawa yang mengambil alur cerita dari cerita Ramayana dan
Bharatayudha, lakon Calon Arang dan Panji juga dipergelarkan. Tetapi ada
perbedaan dalam segi fisik dimana wayang Bali lebih kasar dan lebih sederhana daripada wayang yang ada
di Jawa.
Suku Bugis dan Makassar memiliki
keterkaitan erat dalam kesastraannya, mereka menggunakan tulisan sendiri yang
hampir sama dengan tulisan di Sumatera yang pada dasarnya berasal dari bentuk
tulisan India. Kesastraan mereka banyak berupa terjemahan dari karya-karya
keagamaan berbahasa Melayu dan Arab termasuk terjemahan dari ar- Raniri. Syair
Kepahlawanan, La Galigo mengenai raja Sulawesi yang legendaris dan La Galigo
mesih dianggap keramat oleh orang Sulawesi dewasa ini. Kesastraan Bugis dan Makassar
dibagi mejadi 2 yaitu patturioloang yang berbahasa Makassar dan attoriolong
yang berbahasa Bugis. Kesastraan ini berbeda dengan yang ada di Jawa, Bali dan
Melayu dimana lebih dihindarinya unsur-unsur mitologi atau legenda. Catatan
harian ini menjadi sumber sejarah yang berharga dan tradisi penulisan catatan
buku harian ini tidak dilakukan di daerah lain di Indonesia. Jadi pada intinya
kesastraan yang disebutkan diatas itu hampir dipengaruhi oleh Melayu dan Jawa.
Kesenian Indonesia yang berbentuk
visual sangat menonjol dalam kebudayaan
klasik Indonesia dimana pertunjukannya itu lebih bersifat sakral. Wayang,
keris, batik, dan tari-tarian memiliki nilai keagamaan dan memancarakan hal hal
gaib. Oleh karena itulah kesenian Indonesia dilingkupi ritual ritual dan kaidah
kaidah yang rumnit.
Musik klasik Indonesia berkaitan
erat dengan pertunjukan drama, musik
Jawa menjadi lebih penting dibanding daerah lain karena masih dapat
ditemukannya alat alat musik yang benar-benar kuno. Ada anggapan bahwa Jawa
pada zaman pra-sejarah merupakan pusat kebudayaan musik gentong-gong. Orkes
gamelan Jawa sebagian besar tersiri atas instrumen yand dipukul, seperti
bonang, gong, genta-genta gong lain dan instrumen lain yang menyerupai
xylophone dan gamelan juga sering dilengkapi dengan kecapi, rebab, suling dan
penyanyi serta dipimpin oleh seorang penabuh genderang. Orkes gamelan mempunyai
identitas-identitas spiritual dan nama-nama diri , diberi sesajian, dan
beberapa diantaranya harus dilakukan pada kesempatan tertentu dan melodi gamelan
juga terikat oleh kaidah-kaidah sakral. Tradisi gamelan Sunda, Bali dan Madura
dengan mudah dibedakan dari gamelan Jawa, tetapi prinsip umum dan instrumen
musik pukulnya hampir sama.
Dari penjelasan di atas dapat
diketahui bahwa dibalik adanya peperangan, persekongkolan, dan penderitaan yang
mendominasi lembran sejarah telah tumbuh beraneka ragam tradisi budaya yang
didasari oleh rasa keagamaan yang mendalam.
Sekitar tahun 1630, Belanda
mengalami kemajuan dimana mereka berkuasa atas Ambon, menguasai Batavia, Malaka
Portugis jatuh ke tangan VOC, dan berakhirnya perang di Eropa antar Belanda dan
Spanyol. Tetapi hal itu tidak membuat VOC aman, mereka harus membuat kebijakan
militer yang lebih agresif untuk memuluskan rencana rencananya. Antonio van
Diemen, Joan Maaetsuycker, Rijkolf van Goens, dan Coernelis Janszoon Speelman
Gubernur Jenderal yang lebih menekankan pada ekspansi militer VOC.
Ekspansi pertama VOC dilakukan di
daerah Maluku dimana VOC ingin memonopoli berbagai macam rempah rempah dengan
melakukan persekutuan lokal dengan Muslim Hitu dan pasukan pasukan Ternate yang
ada di Hoamoal dengan dukungan kerajaan Gowa Makassar. Hal ini mendapar reaksi
dari kelompok anti VOC yang dipimpin oleh Kakiali murid Sunan Giri yang
menggantikan ayahnya ‘Kapitein Hitoe’, ia berpura pura bersahabat dengan VOC
tetapi sekaligus mendukung kelompok anti VOC. Penyelundupan cengkih semakin
berkembang dan hal itu melanggar peraturan VOC. Pada 1634, Kakiali ditawan di
atas kapal VOC dan menyebabkan terjadinya peperangan.
Pada tahun 1637, Van Diemen ikut
dalam melancarkan pengusiran serangan pasukan Ternate. Demi meraih dukungan
penduduk Hitu ia membebaskan Kakiali dan mendudukannya kembali menjadi
‘Kapitein Hitoe’ dan sejak saat itu Kakiali mengambil langkah langkah membentuk
persekutuan dan mendorong agar melakukan perdaganga rempah rempah gelap tetapi
Sultan dari Gowa bersikap hati hati karena takut akan VOC.
Pada 1638, Van Diemen kembali ke Maluku
untuk melakukan perundingan dengan VOC dimana VOC meminta kekuasaan secara de
facto terhadap Maluku Selatan dan memberhentikan penyelundupan cengkih dan
pihak VOC mengakui kedaulatan Ternate atas Seram dan Hitu tetapi perundingan
ini tidak menemui kata sepakat dan pertempurean pertempuran kecil masih
berlnjut menentang VOC. Pada saat Kakiali dan Makassar sekutunya melancarkan
serangan ke VOC, VOC sadar bahwa mereka hanya pura pura menjadi sekutunya dan
hal itu mendapat perlawanan dari VOC yang mempunyai pasukan lebih banyak karena
VOC telah menguasi Malaka.
Pada tahu 1643, VOC berhasil memukul
mundur pasukan Makassar di Hitu dan melancarkan pembunuhan terhadap Kakiali dan
berhasil merebut benteng Kakiali tetapi pasukan Kakiali masih melakukan
perlawanan kepada VOC. Pemimpin terakhir Hitu, Telukabesi menyerah dan bersedia
memeluk agama Kristen dan akhirnya ia dihukum mati di Ambon. Pada tahun 1647,
Arnold de Vlaming van Outshroorn menjadi gubernur jenderak di Maluku yang
menjadi solusi dari maraknya pelanggaran terhadap kebijakan VOC yang dilakukan
orang orang Ternate dan Makassar. Ia mengembangkan agama Katolik di Ambon dan
melakukan tindakan tindakan militer yang keras selama masa jabatnannya yang
kedua di Maluku.
Pada tahun 1650, Raja Ternate Mandar
Syah mengalami kudeta dan ia melarika diri ke VOC untuk meminta bantuan. De
Vlaming dapat mengatasi masalah tersebut dan kembalilah Mandar Syah menjadi
raja Ternate tertapi pasukan VOC banyak yang mati karena serangan secara tiba
tiba oleh kelompok kecil penentang berkuasanya kembali raja Ternate. Tetapi
pada kesempatan lain, VOC membawa Mandar Syah ke Batavia untuk menandatangani
perjanjian tentang pelarangan penanaman cengkih selain di Ambon dan Pala di
Banda dengan demikian VOC dapat meraup keuntungan yang sangat besar dari
monopoli ini. Pada 1652 – 1658 terjadi peperangan antara orang orang Ternate
dan Makassar dengan VOC dan orang Ambon Kristen, peperangan ini dimenagkan oleh
VOC yang mengakibatkan tanaman rempah rempah di daerah Hoamoal dimusnahkan dan
daerah ini tidak boleh didiami oleh manusia.
Sultan Safiudin dari Tidore yang
terkenal teladan dan baik kepada rakyatnya, meminta bantuan kepada VOC untuk
mengusir Spanyol pada 1662 dan pada 1663 Spanyol benar benar pergi dari Maluku,
sehhingga VOC menjadi kekuatan paling utama di wilayah ini. VOC memberikan
kompensasi kepada penguasa untuk memusnahkan rempah rempah justru memperkuat
para penguasa itu, contohnya Sultan Mandar Syah yang bertahan lamamenjadi raja
nakibat kerjasamanya dengan VOC yang memang memberikan keuntungan juga. Tetapi
pemusnakan rempah rempah tersebut tidak berjalan dengan lamcar masih banyak
rakyat yang menanam rempah tanpa sepengetahuan VOC dan menimbulkan kegiatan
penyelundupan rempah rempah untuk menentang monopoli VOC.
Dibandingkan dengan persekutuan atau tidaknya Maluku
dengan VOC, masih lebih kecil dari besarnya persaingan local antara Ternate dan
Tidore yang pada akhirnya membuaat Sultan Safiudin yang bersekutu dengan VOC
menang atas Sultan Amsterdam dari ternate tetapi ia dimaafkan dan dikembalikan
pada singgasananya walau sebagai boneka dan pengikut setianya dihukum mati.
Pada saat Tidore mengalami masa suram dengan adanay pemberontakan VOC masih
setia membantu Tidore dengan secara tidak langsung memainkan peran menentukan
dalam politik Maluku.
Pada akhir abad-18, kedudukan Belanda
diusik dengan kongsi dagang Inggris dan para pedangan swasta yang datang ke Maluku
setelah menemukan jalur pelayaran baru lewat Papua dan mengakibatkan adanya
gangguan politik terhadap VOC ditambah lagidengan pasukan Ilanun dari Filipina
menyerang Maluku. Dari sini dicurigai adanya campur tangan Tidore sehingga
Sultan Tidore dilengserkan. Serta ada pemberontakan dari Kacili Nuku terhadap VOC
dan VOC dapat mengalahkannya tetapi tidak dapat menangkapnya.
Pada Oktober 1783, Tidore mengakui
daerah kekuasaan Nuku, Tidore menyerang pos pos VOC dan membunuh orang orang Eropa
yang ada disana. Hal ini mempercepat respons berkelanjutan persaingan antara
Ternate dan Tidore. Di bulan Desember, VOC memaksakan perjanjian dengan Tidore
dan mengembalikan Pangeran yang pernah siasingkan ke Srilangka, Sultan Alam
Kamaluddin Kaicili Asgar, tetapi sebagai boneka VOC. Sedangkan Nuku tetap
mendominasi perbatasan timur wilayahnya.
Pada akhir abad 17, musuh utama
hegemoni militer VOC adalah Kesultanan Gowa Makassar yang memiliki pemimpin
yang cakap, memiliki sisterm weewnamg pemerintahan ganda akibat aliansi dengan
Tallo dimana sultan sultan berasal dari garis keturunan Gowa sementara perdana
menterinya dari Tallo. VOC melancarkan misi untuk menghancurkan Gowa dengan
cara menjalin kerjasama dengan orang yang memang berpengaruh di Gowa, ia adalah
Arung Palaka atau La Tenritstts to Unru seorang pangeran Bugis. Pemberontakan
muncul dari Negara Negara bawahan Gowa termasuk dari Arung Palaka pada tahun
1660 tetapi hebatnya Gowa dapat menumpas pemberontakan itu dan para pemberontak
melarikan diri ke daerah Pulau Butung. Pada 1663, VOC mengabulkan permohonan
mereka untuk tinggal di Batavia dan mereka disana menjadi serdadu VOC yang
membuat pihak Belanda terkesan dengan keterampilan berperang mereka.
Setelah konflik konflik antara VOC
dan Gowa berlanjut hamper tak terputus yang sering menimbulkan perang, kedua
belah pihak mencoba jalan damai tetapi tidak dapat terlanksana dan pada
puncaknya Jenderal Maetsuycker dan Dewan HIndia mengambil keputusan untuk
menghdapi Gowa dengan persiapan yang kuat disana Arung Palak terlibat ditambah
dengan orang orang Bugis yang ikiut mendukung VOC untuk menghancurkan Gowa,
Paglima perang pada saait itu ada Coernelis Speelman yang nantinya menjadi
Gubernur Jenderal. Pada 1666, VOC dan pasukannya tiba di Makassar hal ini
disambut gembira oleh VOC karena sesuai harapan bahwa orang orang Bugos dan
Soppeng ikut mendukung VOC menghancurkan Gowa dan pada akhirnya terjadilah
peperangan hamper 1 tahun dengan stratergi perang VOC di wilayah perairan atau
laut sedangkan Arung Palaka di darat dan
VOC dapat memenagkan peperangan ini sehingga muncul perjanjian Bongaya antara VOC
dan Sultan Hasanudin. Tetapi Sultan Hassanudin kembali mencoba melawan VOC dan
untuk kali kedua ia kalah telak
Di akhir peperangan, perjanjian
Bongaya benar benar dilaksanakan yang membuat perubahan kekuasaan yang awalnya
dikuasai oleh Gowa sekarang dikuasai oleh Bone, dan hal ini dimanfaatkan oleh VOC
untuk merebut benteng dan membuat benteng benteng pertahanan untuk menjaga pengaruh
Spanyol dan Ternate masuk, Bone juga mengusir pedagang Eropa kecuali VOC yang
mendapat daerah kekuasaan di Gorontalo dan daerah lainnya.
Arung Palaka yang memerintah secara
otoriter terus menacapkan kekuasaannya di daerah Makassar dengan cara melancarkan
serangan terhadap Negara Negara yang memberontak yang mengakibatkan sengsaranya
orang Makassar dan Bugis sehingga mereka mencoba untuk kabur dari daerah Makassar
ke daerah lain yang lebih aman hingga sampai ke daerah Siam. Sementara VOC
sedang dalam masa masa jayanya dalam hal penguasaan wilayah di daerah Timur
dimana Tenrnate, Tidore dan Gowa menjadi daerah yang lemah tidak seperti dahulu
sehingga tujuan utana VOC untuk memonopoli rempah rempah bias lancar. Tetapi
tidak sesuai perkiraan, VOC justru megalami kesulitan dalam hal penawaran,
permintaan dan harga secara tepat sehingga sering kali terjadi perubahan
kebijakan serta VOC mengalmi kendala dimana rempah rempah menjadi kurang dalam
perdagangan dunia karena kalah bersaing dengan lada yang pada abad ke 17 lebih
dibutuhkan disamping terkstil, kopi dan teh.
VOC pada abad ke 17 mempunyai dua
pusat perhatia yaitu Maluku yang sudah dikuasainya serta Jawa yang dapat
membuka jalan politik intervensi pihak Belanda. Di daerah timur lainnya, Flores
dalam usaha untuk menguasainya VOC mengalami kendala dimana disana ada orang
orang Portugis Hitan atau Topas tetapi VOC dapat menguasai daerah tersebut
dengan keuntungan dapat mengekspoitasi kayu cendana yang ada disana walaupun
hanya sedikit jumpalnya. Sedangkan di daerah Roti, VOC dapat ikut campur dengan
faksi faksi local melakukan serangan berdarah yang membantu Roti menjadi pusat
perbekalan bagi Kupang dan menjadi sumber budak tetapi tidak ada benteng VOC
yang kokoh di Roti. Penguasa di Roti memanfaatkan kehadiran VOC dengan cara
beralih kepercayaan ke Kristen dengan tujuan awal untuk menaikan stastus social
mereka dan rakyar rakyat di Roti pun ikut memeluk agama Kristen sehingga status
social mereka menjadi naik tiba menjadi budak. Dalam perkembangannya Kristen di
Roti sangat berkemabgn disana juga sudah banyak bangunan sekolah sekolah
Kristen.
Di Sulasesi Selatan masih berlanjut
persaingan militer antar Bugis dan Makassar sedangkan VOC tetap mempertahankan
posisinya sendiri di Makassar dan posisi sekutunya, Bone. Pada masa ini, muncul
Arung Singkang keturunan keluarga Bugis dari Wajo dan dia adalah seorang
perompak. Pada 1735, Arung Singkang kembali ke Sulawesi dan mulai berusaha
merebut kekuasaan atas negara negara Bugis dan Makassare di Bone. Arung
Singkang tidak diterima dengan baik di Sulawesi tidak heran setelah
kedatangannya sering terjafi peperangan. Pada 1754, rakyat Wajo merasa telah
cukup banyak terlibat dalam peperangan dan tidak bersedia membantu Arung
Singkang, pada tahun itu juga ia meletakkan jabatannya sebagai penguasa Wajo.
Pihak Belanda yang bersekutu dengan Bone tetap mengasai Makassar tetapi tidak
menjalankan pengaruh signifikan atas daerah Wajo sampai akhir abad 19.
Bali di abad 17 dan 18 bebas dari
campu tangan VOC, Bali masih merupakan jajahan Raja Gelgel. Tetapi pada saat
yang sama, kehadiran VOC di Batavia menciptakan pasara perdaganan baaru untuk
perbudakan, hubungan ini memperkaya pesaing raja raja Bali yang menjual tahanan
tahanan, para debitur dan para tawanan perang. Pada perempat abad terakhir abad
18, Karangasem mengalahkan Buleleng sepenuhnya dan menggantikannya sebagai
kerajaan utama di Bali Utara setelah menjalani peprangan dengan Sumbawa, Lombok
serta Buleleng yang bersekutu dengan petualang Bali,Surapati.
Di Bali Selatan dikuasai oleh Mengwi
di bawah pimpinan raja Gusti Agung Anom, ia mengambil keuntungan dari
perselisihan suksesi di Buleleng setelah kematian raja Gusti Panji Sakti untuk
merebut Blambangan dan mengadu domba para pesaing Buleleng tetapi ia sering
berkali kali mendapat penggerebekan dan ssampai akhir hayatnya ia adalah
penguasa dari sebagian besar Bali tengah dan selatan dan ia juga mendapat gelar
kebangsawanan, Cokorda Gusti Agung. Gusti Agung Alengkajeng,putra Gusti Anom
naik tahta menggantikan ayahnya. Ia menghabiskan senagian waktunya di
Blambangan berusaha mempertahankan kekuasaan Mengwi disana, sisamping
mempertahankan kekuasaannya ia juga sibuk dengan rencan kudeta kekuasaan di
dalam keluarga Kerajaan Mengwi dan setelah ia wafat digantikan oleh Gusti Agung
Made Munggu yang terkenal sebagai raja raja Bali yang sangat berkuasa. Namun, VOC
mengambil alih Bali darinya dan Buleleng dicaplok Karanasem, hal ini membuat
hilangnya mata rantai kepemimpinan kedudukan raja raja Bali di Jawa.
Pada akhir abad ke 18, tak ada
kemungkinan bagi satu Raja Bali pun untuk memaksakan kembali kewengangan
terpusat seperti yang dilakukan oleh Gelgel pada abad 16 dan awal abad 17. Bali
masih akn menghadapi konflik konflik sengit yang akhirnya mencapai puncak pada
penaklukan berdarah oleh Belanda.
Hingga pertengahan abad ke – 18, keterikatan urusan
– urusan Belanda, Madura, dan Jawa ini mengakibatkan timbulnya berbagai
malapetaka.Walaupun pada awal abad 17 terjadi hubungan jalin – menjalin anatara
VOC dan masyarakat Jawa, karena mempunyai kepentingan yang dianggap saling
menguntungkan.
Pada awal masa pemerintahannya, Susuhunan Amangkurat
II (1677 – 1703M), tampak benar – benar seperti ciptaan VOC tersebar desas –
desus bahwa Amangkurat II adalah putra Speelman yang menyamar menjadi putra
mahkota yang dulu. Bahkan tahun 16Tetapi setelah kebutuhannya akan persenjataan
VOC berkurang, maka hilang pulalah rasa hormatnya terhadap VOC. Hubungan Raja
dan VOC pun memburuk, ditambah dengan hal –hal lain yang seharusnya dilakukan
pihak Amangkurat II untuk VOC sebagai akibat dari perjanjian-perjanjian
sebelumnya, menjadi tidak dipenuhi dan tidak dilakukan oleh Amangkurat II.
VOC sendiri kini memasuki masa sulit yang panjang.
Terlebih ketika Gubernur Jenderal Speelman maninggal pada tahun 1684, segala
kebobrokannya dari mulai korupsi hingga penyalahgunaan kekuasaannya terbongkar,
serta kesalahan – kesalahan fatal lain selama masa pemerintahannya tak luput
terbongkar. Harta Speelman disita oleh VOC, tetapi masih banyak hart yang
diselundupkan ke negri Belanda dalam batu permata. Personel VOC umumnya tidak
mendapat kesempatan seperti apa yang telah dinikmati oleh Speelman, tapi sejauh
mungkin mereka berusaha menandingi gaya hidupnya yang berakibat pada,
inefisiensi, kebejatan moral, korupsi, serta tindakan kekerasan dan kekejaman
kepada orang Indonesia, yang membuat orang Indonesia semakin membenci VOC.
Jadi, dibalik masalah – masalah besar yang dibahas dalam bab ini, ada perkara –
perkara kecil yang tidak berkesudahan, masalah – masalah pribadi yang menyebabkan
timbulnya rasa permusuhan terhadap VOC.
Di Istna Kartasura, perasaan anti VOC terus tumbuh.
Meskipun demikian, pihak keratn sangat berhati – hati agar tidak terjadi
keretakan total, karena pengalaman telah memberikan cukup bukti tentng
kemampuan militer VOC. Tahun 1684, mulai dipertimbangkan tindakan yng lebih
keras, ketika disana kelak datang seseorang yang menjadi musuh paling dibenci
oleh VOC ketimbang musuh manapun, dia adalah, Surapati, seorang budak Bali yang
menetap di Batavia. Dia melarikan diri ke dataran tinggi diseblah selatan
Batavia, dan menjadi pemimpin gerombolan perampok. Pada tahun 1683 secara tidak
terduga, dia menyerah dan masuk dinas militer VOC. Tetapi, pada Januari 1684,
dia menyerang sebuah pasukan VOC, namun akhirnya melarikan diri ke arah timur
ketika mendapat serangan balasan dari VOC serta banyak anak buahnya yang
menjadi korban. Kelompok anti –VOC yang dipimpin oleh Patih Anrangkusuma
membujuk Raja agar melindungi Surapati serta gerombolannya yang berjumlah 80
orang.
Kapten Francois Tack, juru selamat Sultan Haji dari
Banten, dan orang yang menjual mahkota emas Majapahit kepada Amangkurat II
padatahun 1678, diangkat menjadi duta khusus ke Istana. Dia adalah orang Belanda
yang paling dibenci oleh Amangkurat II. Menjelang hari kedatangan Tack di
Istana, Raja mengalami suatu dilema. Dia tidak bersedia menyerahkan Surapati,
tetapi dia juga takut menunjukkan perlawanannya secara terang – terangan pada VOC.
Karena itu dilancarkan serangan tipuan oleh prajurit Raja terhadap tempat
tinggal Surapati pada tanggal 8 Februari 1686. Tack tewas, konon terhadap 20
luka pada tubuhnya. Sumber – sumber berbhasa Jawa menyebutkan, pihak istana
telah merencanakan serangan itu secara hati – hati. Bahakan disebutkan lebih
lanjut bahwa Pangeran Puger – lah, yang keselamatannya menjadi perhatian khusus
VOC,yang sebenarnya membunuh Tack.
Sesudah penyerangan tersebut, Surapati pergi ke
Pasuruan di Jawa Timur, dan membentuk suatu daerah kekuasaan yang merdeka
dimana Anrangkusuma menggabungan diri dengannya. Pengaruh Surapati di kawasan
timur tidak terlepas dari kerjasamnya dengan raja – raja di Bali. Amangkurat II
mulai tidak senang dengan perkembangan kawasan timur yang dipimpin oleh
Surapati, dia pun mengirimkan pasukan pada tahun 1690 untuk menundukkan
Surapati, tetapi gagal sama sekali. Pasukan Jawa tidak terlalu kuat untuk
menghadapi kekuatan militer Surapati yang menguasai teknik – teknik militer Eropa
dengan baik.
Amangkurat II mengirimkan surat pada VOC di Batavia,
yang isinya menyatakan dia tidak terlibat pada peristiwa penyerangan terhadap
Tack dan VOC di Kartasura. Namun, pihak VOC sama sekali tidak percaya, dengan
terbongkarnya bukti – bukti bahwa Amangkurat telah mengirimkan surat untuk
membentuk suatu persekutuan anti VOC bagi siapa saja yang bersedia. Tahun 1686
– 9 tersebar desas – desus tentang akan meletusnya suatu pemberontakan besar –
besaran menentang VOC di seluruh wilayah Nusantara. Piahak Belanda percaya
bahwa musuh – musuh mereka ini berangkat dari sentimen umat Islam yang membenci
terhadap hal-hal yang berbau asing. Tetapi kesediaan musuh mereka untuk meminta
bantuan pada Siam, Inggris, dan Bali di beberapa tempat, membuktikan bahwa
antagonisme tersebut ditujukan secara khusus kepada VOC, bukan terhadap pihak
nonmuslim secara umum.
Pada tahun 1689 terbongkar suatu komplotan yang
membuat VOC ngeri. Sejak tahun 1665, pimpinan orang Ambon di Batavia adalah
seorang muslim bernama Kapten Jonker. Bulan Agustus diketahui bahwa Jonker
telah bergabung dengan musuh – musuh VOC lainnya untuk merencanakan pembantaian
besar – besaran terhadap orang – orang Eropa di Batavia. Dengan terbongkarnya
komplotan itu, VOC berusaha menangkap Jonker, dan akhirnya Jonker tertangkap
setelah dilakukan pengejaran serta kemudian dibunuh.
VOC maupun Amangkurat II sama – sama merasa takut.
Dengan dihadapinya kesulitan dipelbagai medan, maka VOC tidak menginginkan
meletusnya perang baru di Jawa Tengah. Lagipula dengan meningkatnya kesulitan
keuangan, VOC tidak mampu membayar ongkosnya, selain itu angkatan bersenjata VOC
juga melemah, terlebih administrasi VOC kacau balau.
Tahun 1703, Amangkurat II wafat dan digantikan oleh
putranya, amangkurat III. Perselisihan antara Amangkurat III dengan pamannya,
Pangeran Puger, dan keluarganya menyebabkan Puger lari dari istana pada bulan
maret 1704. Dia pergi ke Semarang dan member tahu VOC bahwa Amangkurat III
adalah musuh mereka bersama dan merupakan sekutu Surapati. Pihak Belanda sangat
dipengaruhi oleh Panembahan Cakraningrat II yang mereka anggap sebagai sekutu
yang dapat dipercaya. Dia menyokong pernyataan – pernyataan Puger dan
meyakinkan pihak VOC bahwa Puger mendapat dukungan orang – orang Jawa.
Tidak jelas sebenarnya mengapa Cakraningrat II
mendukung Puger yang kelak akan dibencinya. Mungkin alasan utamanya karena Amangkurat
III bersekutu dengan Surapati yang mengancam terhadap rencana Cakraningrat II,
yang ternyata diam – diam sedang memperluas kekuasaanya diwilayah pesisir Jawa
dan Surabaya serta daerah timur lainnya.
Pada Juni 1704, VOC mengakui Puger sebagai Susuhunan
Pakubuwana 1, dan meletuslah konflik yang terkenal sebagai perang suksesi Jawa
1 (1704 – 8). Segera terbukti bahwa daerah – daerah pesisir, yang tadinya telah
diklaim Pakubuwana 1 sebagai pendukungnya, hanya membari sedikit perhatian pada
dirinya. Perlawanan utama wilayah pesisir terhadap Pakubuwana 1 datang dari
Demak yang berhasil ditaklukan pada Oktober dan November 1704. Agustus 1705,
suatu kekuatan yang terdiri dari orang – orang Jawa dan Madura, bersama – sama
dengan serdadu VOC berkebangsaan Eropa, Bugis, Makassar, Bali, Melayu, Banda,
Ambon, dan kaum Mardjkers, bergerak menuju Kartasura. Amangkurat III melarikan
diri dari Kartasura karena tidak mungkin sanggup melawan Pakubuwana 1 dengan
serdadu – serdadunya. Pakubuwana 1 memasuki Kartasura tanpa mendapatkan
perlawanan dan menduduki singgasana pada bulan September.
Amangkurat III lari kearah timur dan bergabung
dengan Surapati. Ia membawa serta semua tanda kebesaran (pusaka) kerajaan. Pada
tahun 1706, 1707, dan 1708, pasukan – pasukan VOC, Madura, dan Kartasura
melancarkan serangan besar – besaran di Jawa Timur. Tahun 1706 Surapati
terbunuh di Bangil, dan pada tahun 1707 Pasuruan berhasil ditaklukan, sedangkan
Amangkurat III dan putra – putra Surapati melarikan diri ke Malang. Perang
Suksesi Jawa 1 adalah intervensi militer besar pertama oleh VOC di Jawa sejak
perang melawan Trunajaya. Pasukan yang dipimpin VOC dan Pakubuwana 1 itu cukup
besar. Manurut salah satu sumber Eropa, pada tahun 1707. 46. 000 orang berbaris
dalam kampanye terbesar itu.
Satu diantara ciri yang paling menonjol
daripertempuran ini adalah bukti bahwa inovasi dalam teknologi militer yang
muncul dari peperangan di Eropa pada abad ke – 17 M dan diperkenalkan ke Jawa
oleh orang VOC dengan cepat diadopsi oleh orang – orang Jawa. Senjata matchlock, digantikan oleh snaphaenen, kata Belanda yang berasala
dari kata Jawa dan Indonesia ‘senapan, serta senjata lainnya. Peperangan Jawa
makin modern dan, konsekuensinya memakan lebih banyak korban, baik nyawa maupun
harta. Demikianlah Belanda dan jawa, dua diantara bangsa – bangsa prajurit
utama pada abad ke – 17 M di Eropa dan Asia, saling berbagi buah berdarah dari
kemajuan teknologi kontemporer.
Amangkurat III menyerahkan diri kepada VOC
berdasakan kesepakatan bahwa dia diperbolehkan memerintah sebagian Jawa dan
tidak harus tunduk kepada Pakubuwana 1. Akan tetapi, VOC lebih pandai berperang
daripada menepati janji – janjinya. Amangkurat III ditawan dan dibuang ke Sri
Lanka, tempat dia wafat pada tahun 1734.
Oktober 1705, Pakubuwana 1 dan VOC mencapai suatu
perjanjian baru. Pihak Belanda menghapuskan segala hutang dinasti tersebut
sebelum tahun 1705, sebagai imbalan atas konsesi – konsesi besar yang diberikan
Pakubuwana 1 kepada VOC. Akan tetapi, Jawa tidak dapat di eksploitasi
denganlembaran – lembaran kertas. Beban berat mengakibatkan terjadinya gerak
perpindahan penduduk dari beberapa daerah, dengan pindahnya para petani, maka
urusan penyerahan barang menjadi sulit. Pakubuwana 1 benar – benar berusaha
membayar hutangnya, namun itu diluar kemampuannya. Dia mulai melunasi 69% dari
seluruh hutangnya, tetapi pembayarannya kemudia tersendat – sendat lagi ketika
kerajaannya terpecah belah.
VOC mengalami masalah – masalah keuangan yang sangat
berat. Diantara 23 kantornya di Asia selama kurun waktu 1683 – 1710, hanya tiga
(Jepang, Surat, Persia) yang biasanya memperlihatkan keuntungan. VOC kini
mengelola perusahaan yang hamper tidak memiliki keuntungan. Pengeluaran –
pengeluaran yang sangat tinggi mendorong VOC menuntut semakin banyak pada
rakyat Jawa, yang mengakibatkan terjadinya pemberontakan dan perlawanan lebih
lanjut, sehingga menjadikan pengeluaran lebih tinggi lagi.
Tahun 1718, Ponorogo, Madiun, Magetan, danJogorogo
memberontak. Pada tahun yang sama, putra Raja, Pangeran Diponegoro, dikirim untuk
menyerang kaum pemberontak, tapi ia sendiri malah memberontak. Ia diakui
sebagai seorang Raja oleh kaum pemberontak, yang kini mempunyai seorang anggota
keluarga kerajaan Mataram untuk memimpin mereka. Menyebut dirinya sebagai
Panembahan Erucakra, sebuah gelar dalam tradisi mesianik Jawa berkaitan dengan
Ratu Adil.
Ditengah runtuhnya bagian timur kerajaannya ini,
Pakubuwana 1 wafat pada Februari 1719. Dia digantikan oleh putranya, Amangkurat
IV (1719 – 26), yang pada awal masa pemerintahannya digambarkan sebagai
penguasa yang ditinggalkan oleh seluruh rakyatnya dan mendapati hamper seluruh
dunia Jawa memusuhinya. Pada Juni 1719, adik – adiknya, Pangeran Blitar dan
Pangeran Purbaya, melancarkan serangan terhadap istana. Mereka didukung oleh
seluruh pemimpin Islam di istana dan mendapat simpati terang – terangan dariibu
mereka (juga ibu Raja), Ratu Pakubuwana, yang memiliki pengaruh kuat di istana.
Pangeran Arya Mataram yang merupakan paman dari Pangeran Blitar dan Purbaya,
tidak berperan serta pada pemberontakan awal ini. Tapi ia juga tidak menyukai
Amangkurat IV. Pada hari berikutnya ia meninggalkan istana, menuju ke pesisir
utara dan memproklamasikan dirinya disana sebagai raja tandingan. Dengan
demikian, dimulailah Perang Suksesi Jawa II (1719 – 23). Sekali lagi, hanya VOC
– lah yang dapat menyelamatkan Raja.
Pada November 1719, VOC melakukan serangan dan
berhasil menghalau tokoh – tokoh pemberontak itudari kubu pertahanan mereka di
Mataram. Setelah sebelumnya pada bulan Oktober, Arya Mataram menyerah lalu
dicekik di Jepara. Sisa – sisa pemberontak menyerah pada tahun 1723, mereka
dibuang ke Sri Lanka dan ada juga yang ditahan di Batavia.
VOC frustasi ketika menyadari, bahwa peran mereka
dalam kemenangan Amangkurat IV tidak memberikan keuntungan atau kekuasaan yang
mereka cari. Orang – orang Jawasekarang memiliki pemahaman yang canggih
mengenai cara operasi VOC dan memanfaatkan pengetahuan itu dengan baik. Raja
wafat pada 1726, dan digantikan oleh putranya, Pakubuwana II, yang
pemerintahannya berbeda dengan penguasa yang lain karena menjadi penyebab
bencana yang malah lebih besar lagi. Awal pemerintahannya ia dikuasai oleh
ibunya, Ratu amangkurat, Patih Danurejaa, dan Ratu Pakubuwana selaku neneknya
yang seorang sufi shaleh. Pengaruh Ratu Pakubuwanalah yang menyebabkan Raja
baru ini berkeinginan mempromosikan nilai – nilai Islam.
Pada awal pemerintahan Pakubuwana II tampak ada
harapan, dengan cepat istana menjadi pusaat intrik diantara orang – orang kuat
yang melakukan maneuver demi kekayaan dan pengaruh. Hal ini melibatkan
hubungannya dengan VOC, karena VOC merupakan jaminan militer yang terpenting
bagi kekuasaan dinasti tetapi juga pengisap terbesar kekayaan kerajaan.
Kekuatan Danureja tumbuh dengan cepat, karena pengaruhnya ini Pangeran Arya
Mangkunegara yang sebelumnya telah menyerah dan bergabung kembali ke Kartasura,
kembali dihukum dan dibuang atas perintah Raja, karena fitnah dari Patih
Danureja yang tidak menyukai Arya Mangkunegara. Banyak pembesar memandang,
dengan dibuangnya Arya Mangkunegara, ini adalah pertanda bahwa kerajaan berada
di tangan seorang raja yang impulsif dan seorang patih yang berbahaya.
Ratu Pakubuwana berusaha agar cucunya, Pakubuwana II
menjadi raja sufi teladan. Dia beralih pada langkah supernatural untuk
mengundang campur tangan Tuhan dan pengaruh Sultan Agung sebagai raja dengan
kesalehan Islam yang paling kuat di dinasti ini. Buku – buku/ kitab yang pernah
ditulis oleh Sultan Agung saat kunjungan ziarahnya ke Tembayat pada tahun 1633,
ditulis kembali atas perintah Ratu Pakubuwana. Tertulis didalam salah satu
kitab yaitu, usulbiyah, bahwa ia
menciptakan kitab ini adalah dalam upayanya untuk menyempurnakan pemerintahan
cucunya. Usulbiyah sendirii disetarakan dengan Al – Qur’an. Salah satu karya
Ratu Pakubuwana yang paling berharga adalah, Suluk Garwa Kencana. Ratu Pakubuwana dan para bangsawan berpengaruh
yang mendukungnya mewakili gerakan Islam terkuat di istana Jawa setelah Sultan
Agung. Mereka sangat berhasil. Pakubuwana II terus menunjukkan komitmen yang
kuat terhadap kesalehan dan moralitas Islam. Lawan terkemuka bagai faksi Islam
ini tampaknya adalah Patih Danureja. Tahun 1732, Pakubuwana II berbalik melawan
patihnya, dan meminta VOC untuk membuang Danureja, yang dilakukan VOC dengan
senang hati.
Melalui perundingan yang panjang, Raja bersedia
untuk membayar hutang pada VOC. Sulit untuk memperkirakan mekanisme serta
pengaruh dari pembayaran hutang terhadap
kondisin masyarakat Jawa pada umumnya, dikaenakan sumber yang terbatas.
Bagi sebagian orang Jawa, kedatangan VOC mendatangkan peluang komersil yang
menggembirakan. Namun, orang Jawa tidak menyukai agen – agen VOC yang
kebanyakan orang China. Hubungan antara orang jawa dan orang China memang cukup
rumit. Tahun 1740 – an, banyak orang Jawa yang siap bersekutu dengan pemberontak
– pemberontak China untuk melawan VOC, karena menganggap orang Kristen Eropa
lebih asing daripada orang China. VOC hamper tidak pernah menduga sebelumnya,
bahwa proses Islamisasi di istana yang tidak terlalu mereka perhatikan, akan
sangat berpengaruh besar terhadap diri mereka. VOC terlibat dalam intrik
–intrik politik para elite Jawa yang rumit, yang gelap bagi orang – orang Eropa.
Pengaruh Purbaya yang dijadikan patih kedua setelah
Natakusuma berakhir ketika saudara perempuannya, istri Pakubuwana II, wafat
setelah melahirkan bayi yang telah mati. Tanpa dukungan saudara perempuannya
dan musuh – musuhnya yang kuat dikalangan elit Jawa, serta intrik – intrik
politik yang menjatuhkan Purbaya, membuat Raja menyerahkannya kepada VOC yang
diterima dengan senang hati. VOC membuang Purbaya, tetapi meminta Natakusuma
juga untuk diserahkan pada mereka, hanya Raja mempertahankan Natakusuma. Sejak
saat itu mulai tumbuh rassa benci di hati Pakubuwana II pada VOC.
Pakubuwana II diliputi kebimbangan dan inkonsistensi
yang bias menjelaskan dilema sebagai ciri sepanjang masa pemerintahannya.
Dihadapkan menjadi teladan raja sufi, namun dunia nyata yang ia hadapi penuh
dengan masalah, dan belum memberikan solusi. Ia begitu banyak berhutang pada VOC,
tapi tidak mau membebankan rakyat atas hutang – hutangnya tersebut.
Markas VOC di Batavia sekarang mendapat reputasi
buruk sebagai sumber wabah mematikan yang terus dipertahankan hingga abad 19.
Kolam – kolam ikan yang dibangun sepanjang pesisir, merupakan tempat berkembang
biak yang ideal bagi nyamuk anopheles, dan menyebabkan wabah malaria yang
mematikan.
Krisis yang terjadi di Kartasura, di daerah – daerah
luar kerjaan pada umumnya, di dalam tubuh VOC dan di kota Batavia akhirnya
menyatu pada tahun 1740. Katalisatornya adalah kehadiran sejumlah orang – orang
Cina di Batavia. Orang – orang Cina sudah berabad – abad ada di Indonesia
sebagai pedagang, dan mereka sudah menjadi bagian terpenting dalam perekonomian
Batavia. Hereen XVII di Amsterdam,
mengagumi industri orang – orang Cina, tetapi penduduk local Batavia tidak
menyukai dan mencurigai mereka. Perasaan saling curiga menyebabkan meletusnya
tindak kekerasan pada bulan Oktober 1740. Berdasarkan bukti yang berhasil
diperoleh, VOC menyimpulkan bahwa orang – orang Cina merencanakan
pemberontakan. Tanggal 9 Oktober dimulailah pembunuhan besar – besaran terhadap
orang Cina. Orang Eropa dan para budaklah yang banyak melakukan pembunuhan.
Sekitar 10.000 orang Cina tewas dan perkampungan mereka dibakar selama beberapa
hari. Kejadian tersebut mempunyai arti yang sangat penting di Jawa, karena
merupakan awal dari rentetan terakhir peperangan abad 18. Walaupun orang –
orang Cina yang berhadil melarikan diri menghimpun kekuatan untuk kemudia
memberontak kembali pada VOC, personel VOC di rembang berhasil mereka bantai,
namun pada akhirnya mereka berhasil ditaklukan.
Pakubuwana II mengalami keputusan yang sangat sulit
selama masa pemerintahannya.istananya terbagi dala dua kelompok utama. Kelompok
pertama dipimpin oleh Patih Natakusuma, yang memilih melawan VOC dan bergabung
dengan orang – orang Cina. Kelompok lain dipimpin oleh para penguasa daerah
pesisir yang kuat, mempunyai pertimbangan bahwa VOC akan menang pada akhirnya.
Pakubuwana II memilih kelompok Patih Natakusuma sebagai keputusan yang
menurutnya sangat tepat, sekaligus pada akhirnya akan membuatnya kalah serta
disingkirkan dari model raja Islam yang shaleh. Pakubuwana II menyadari betapa
bodohnya dia, setelah para pembesar Jawa tidak percaya lagi akan kebijakan –
kebijakan yang ia ambil, terlebih rakyat Jawa mulai curiga padanya, karena
kemabli menjalin hubungan persahabatan dengan VOC, yang jelas – jelas rakyat
Jawa sangat membenci VOC. Walaupun hubungan persahabatan belum begitu kuat,
namun pemberontakan kini bertambah kuat.
Kaum pemberontak mengangkat cucu laki – laki
Amangkurat III, yang dibuang VOC, dan baru berusia 12 tahun, bernama Raden Mas
Garendi, yang juga anti VOC, dan sekarang juga anti terhadap Pakubuwana II.
Pemberontakan mencapai puncak dengan takluknya Kartasura. Pakubuwana II dan Van
Hohendorf melarikan diri ke daerah Panaraga. Van Hohendorf meninggalkan
Pakubuwana II dengan beberapa pengawal. Pakubuwana II tidak bias luput dari
penyesalan bahwa dirinya telah gagal menjadi raja sufi yang saleh. Pakubuwana
II mengajukan permohonan nekat pada VOC agar dapat menduduki kembali
singgasananya, dengan menghadiahkan wilayah pesisir pada Belanda dan
memperkenankan mereka memilih patih.
Cakraningrat IV meminta pada VOC untuk membunuh
Pakubuwana II, agar tak ada lagi penghalang baginya untuk berkuasa. Namun, VOC
mempertahankan Pakubuwana II dengan alasan, stabilitas akan tetap dijalankan
dengan menusahakan persekutuan dengan Raja yang lunak dari diansti Mataram,
karena tidak ada seorang rajapun yang bias lebih lunak daripada Pakubuwana pada
tahun 1742. Hubungan VOC dipulihkan kembali dengan perjanjian November 1743,
yang secara resmi mendudukan kembali Pakubuwana II ke singgasanannya. Tidaklah
keliru bahwa pemilihan ini dikatakan sebagai satu – satunya keberhasilan
Pakubuwana II selama masa pemerintahannya.
Cakraningrat IV merasa yakin bahwa dia mempunyai hak
atas sebagian besar wilayah Jawa Timur, namun VOC tidak mau mengakui hasrat
luar biasa dari Cakraningrat IV, yang berakibat peperangan dan berakhir dengan
kekalahan di pihak Cakraningrat IV, serta harus menerima konsekuensi
pembuangannya ke Tanjung Harapan. Intervensi pembesar – pembesar Madura di Jawa
berakhir dan Pakubuwana II kembali bertahta.
Kemajuan militer Jawa tidak membuahkan stabilitas
dan hanya memberikan keuntungan yang sediit kepada VOC. Sebagian kekuatan VOC
ditarik mundur ke negri Belanda, dan di Jawa masih timbul perselisihan –
perselisihan yang berujung pada pembagian kerajaan, walaupun sebelum itu
terjadi masih banyak peperangan yang dilakukan.
Pakubuwana II memutuskan untuk meninggalkan istana
Kartasura yang sudah kacau, dan mendirikan istana baru kira 12 KM kea rah
timur,yang dinamakan istana Surakarta, dan kelak ditempati oleh keturunan –
keturunannya. Istana ini ternyata sama tidak stabilnya dengan Kartasura,
pangeran – pangeran lain masih banyak yang memberontak. Raja mengadakan
syaembara, bagi siapa saja yang bias menumpas pemberontakan ini maka akan
diberikan tanah sejumlah 30.000 cacah. Tantangan ini disanggupi oleh
Mangkubumi, dia berhasil menumpas pemberontakan itu. Tapi sayangnya Raja
menahan janjinya akibat hasutan dari Patih Pringgalaya. Datanglah gubernur
Jendral Van Imhoff yang sebenarnya tidak mengerti apa – apa tentang kerajaan
Jawa, kedatangannya malah mempercepat meletusnya perang selama sebelas tahun.
Van Imhoff ingin menguasai seluruh daerah pesisir
Jawa yang merupakan daerah vital. Dia terus – terusan membuju Raja agar mau
memberikan daerah pesisir sepenuhnya, dengan harga sewa yang murah, dan
akhirnya Pakubuwana II yang seorang peragu memberikannya tanpa musyawarah
dengan pembesar kerajaan yang lain. Mangkubumi selaku pembesar keratin semakin
marah ketika Van Imhoff ikut campur mengenai hadiahnya yang berjumlah 30.000
cacah. Van Imhoff mempengaruhi Raja agar tidak memberikan hadiah yang dianggapnya
terlalu besar. Mangkubumi merasa terpukul, diapun melancarkan pemberontakan dan
meletuslah Perang Suksesi Jawa III (1746 – 57). Mangkubumi bergabung dengan Mas
Said dan pemberontak lainnya, dalam waktu singkat mereka telah mengumpulkan
banyak pengikut. Pasukan VOC dalam keadaan lemah walaupun masih bias bertahan
di daerah pesisir, tetapi meraka mengalami kekalahan. Raja wafat pada tahun
1749, dengan mengusulkan Van Hohendroff mengambil alih kepemimpinan atas
Negara, dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1749.
Tapi perjanjian yang telah ditandatangani ini bukanlah sesuatu yang penting dan
bukan pula langkah terakhir VOC dalam menaklukan Jawa.
15 Desember 1749, Van Hohendroff mengangkat putra
mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana III (1749 – 88). Tetapi sebelum upacara
penobatannya terlaksana, Mangkubumi telah dinyatakan sebagai raja oleh para
pengikutnya. Mangkubumi juga memakai gelar Susuhunan Pakubuwana di markas
besarnya di Yogyakarta, dan dimulailah masa pemerintahannya yang panjang (1749
– 92), seorang penguasa yang cakap ari Mataram setelah Sultan Agung. Tahun
1755, Mangkubumi memakai gelar Sultan setelah Sultan Agung, dan kemudian
memakai nama Hambengkubuwana (I), yang kelak dipakai oleh keturunannya. Dengan
demikian sejak tahun 1749, Jawa terbagi lagi antara Raja pemberontak dan
seorang Raja yang didukung VOC. Namun pihak pemberontak ini tidak bisa
dikalahkan karena terlalu kuat, dan VOC sedang dalam keadaan yang lemah baik
dibidang keuangan maupun militer.
Mas Said selaku Patih Mangkubumi kembali menggempur
Surakarta, dan mendapatkan kemenangan demi kemenangan. Tapi pada tahun 1752,
tibul perecahan antara Mas Said dengan Mangkubumi yang takut kehilangan
kekuasaanya atas pasukan – pasukan pemberontak. VOC mulai berusaha merundingkan
peperangan – peperangan yang membuat mereka bangkrut dengan Mangkubumi.
Akhirnya,VOC bersedia membantu Mangkubumi untuk melawan Mas said dengan imbalan
– imbalan tertentu, walaupun Batavia tidak begitu senang dengan perjanjian ini.
Pada 13 Februari 1755, perjanjian Giyanti
ditandatangani dan VOC mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I,
penguasa separuh wilayah Jawa Tengah. Kejadian inimenggambarkan kegagalan
kebijakan VOC di Jawa Tengah. Mereka baru menyadari bahwa mereka tidak mengalami
stabilitas seperti yang diinginkan, tetapi malah terus menerus menghadapi
banyak pertempuran untuk kepentingan – kepetingan raja Jawa yang mereka dukung, dengan biaya yang
memberatkan.
HAmenkubuwana I pindah ke Yoga, dan membangun istana
disana pada tahun 1756, dan memberikan kota ini sebuah nama baru, Yogyakarta.
Sultan batu ini mendapat rintangan berat, karna dalam legitimasi Jawa, hanya
ada satu raja yang memimpin, sedangkan Pakubuwana III masih memimpin di
Surakarta, walaupun hamper tidak ada pembesar kerajaan Surakarta yang
mendukungnya. Akan tetapi, setelah perjanjian Giyanti, banyak pembesar kerajaan
yang dulu kabur kembali ke istana Surakarta. Pakubuwana III menjadi saingan
berat dalam usaha mencari dukungan elit, dan hal ini mengawali suasana
permanennya perpisahan kedua istana tersebut.
Pemberontakan kembali datang, Mas Said adalah yang
terpenting dan pasukannya yang terkuat. Pasukan – pasukan dari Surakarta,
Yogyakarta, dan VOC tidak sanggup melawan kekuatan pasukan Mas Said, tetapi Mas
Said juga tidak mungkin mampun menaklukan jawa, karena menghadapi lawan
gabungan semacam itu. Maka mulailah diadakan perundingan, dan Mas Said menyerah
dan mngucapkan sumpah setia, dengan imbalannya mendapat tanah 4000 cacah dari
Pakubuwana III, tapi tidak memperoleh apapun dari Hamengkubuwana I. sekarang
Mas Said menjadi Pangeran Adipati Mangkunegara I (1757 - 95). Dia mempunyai
daerah kekuasaanya sendiri dibawah Surakarta. Hamengkubuwana I ingin
menyingkirkan Mas Said, dan mencemooh penyelesaian seperti ini. Permusuhan
diantara mereka menjadi tema pokok dalam sejarah Jawa selama beberapa tahun.
Peperangan besar berakhir tahun 1757. Dengan
tercapainya perdamaian, maka pertanian di Jawa mulai berkembang. Para pembesar
Jawa menikmati kehidupan yang lebih mapan serta penghasilan yang mulai teratur,
dan sepertinya Jawa tidak memerlukan peperangan lagi. Dikalangan golongan elit
mulai timbul tekad untuk memlihara perdamaian. Walaupun pembagian kerajaan
belum diterima secara permanen, tapi peperangan tidak lagi menjadi satu –
satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Cara seperti diplomasi perkawinan
ditempuh oleh Mangukenagar I, Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I, untuk
menyelesaikan masalah, walaupun berakhir hancur berantakan pada Agustus tahun
1768. Pemberontakan masih tetap terjadi, walaupun pada akhirnya bisa diatasi.
Pada akhir tahun 1760 – an, situasi politi di Jawa
Tengah hamper dikatakan stabil. Campur tangan VOC di istana tidak lagi disertai
kekuatan militernya. Tetapi Hamengkubuwana I berusaha sebaik mengkin agar VOC
tidak mencampuri urusan istana. Pakubuwana III tidak cukup berani untuk
bersikap tegas pada VOC karena pada dasarnya dia sangat mudah dipengaruhi oleh
siapapun.
Pada awal tahun 1770 – an, pemisahan Jawa telah
mencapai tingkat yang lebih mantap. Disetujui pula perundang – undangan yang
baru, yang mengakhiri masalah yurisdiksi yang rumit akibat pembagian wilayah
tersebut dan secara resmi mengatur hubungan antarwarga kedua istana. Angger – Ageng (Peraturan Hukum Besar)
dan Angger – Arubiru (Undang – undang
tentang Gangguan tehadap Ketentraman) disetuji masing – masing tahun 1771 dan
1773, sesudah itu diperpanjang waktunya secara teratur oleh kedua patih.
Sehingga, system tersebut semakin teratur dan stabil karena para tokoh Jawa
sepakat untuk membuatnya seperti itu. Dengan terjadinya hal ini, hilanglah
sumber – sumber konflik antara Surakarta dan Yogyakarta, serta hilang pulalah
kebutuhan akan mediasi VOC.
Pembagian kerajaan Jawa belum teratur, hal itu belum
dipandang sah. Tradisi sejarah Jawa kini menampilkan sebuah krisis legitimasi
sekaligus menawarkan pemecahannya. Kronik – kronik istana muncul dan tumbangnya
istana – istana dalam siklus tetap selama berabad – abad. Pada awal tahun 1700
J (Maret 1774), Putra Mahkota Yogyakarta yang kelak menjadi Sultan
hamengkubuwana II, menulis sebuah buku yang luar biasa berjudul Serat Surya Raja, ‘Buku Matahari Raja –
Raja’. Karya hebat ini, menajdi salah satu tanda kebesaran (pusaka) kerajaan
yang keramat dari kesultanan itu. Tahun 1703 J (1777 M), seorang menantu laki –
laki Sultan menulis buku lain. Karya ini merupakan sebuah kronik yang berjudul, Babad Kraton, ‘Kronik tentang Istana –
Istana’.buku ini cenderung melihat kebelakang daripada kedepan.
Permusuhan masih berlanjut antara Hamengkubuwana I
dan Mangkunegara I, yang menimbulkan ketegangan – ketegangan, hingga menerobos
perbatasan Surakarta dan Yogyakarta. Akan tetapi posisi Mangkunegara I yang
berubah, membuat dia menanggalkan semua rencana yang serius untuk menguasai
takhta salah satu istana, dan fokus untuk memantapkan wilayahnya sendiri,
walaupun daerah kekuasaannya masih belum jelas.
Hamengkubuwana I makin kurang peduli dalam
memelihara hubungan persahabatannya dengan Belanda. Tujuan utama aliansinya
dengan VOC adakah, penghancuran Mangkunegara I tidak pernah tercapai. Raja
Yogya ini makin memperlihatkan rasa tidak puasnya kepada VOC dalam beberapa
kesempatan. Di Surakarta, amasalah – masalah intern mulai muncul, dan mengamcam
stabilitas istana, factor utamanya adalah katidakcakapan Pakubuwana III secara
umum. Kondisi ini semakin diperparah dengan wafatnya Pakubuwana III, yang
digantikan oleh putranya, Pakubuwana IV yang membawa aspirasi – aspirasi yang
tidak realistis dan senantiasa tidak mampu menilai lingkungan politiknya di
istana.
Desas – desus tentang Pakubuwana IV yang ingin
mempersatukan kembali kerajaan – kerajaan di Jawa mulai tersebar. Mangkunegara
I mencemaskan masa depannya sendiri dan keturunannya, Yogyakarta merasa
khawatir akan stabilitas pembagian kerajaan Yogyakarta, tokoh – tokoh terkemuka
Surakarta yang merasa tersisih mencemaskan nasib mereka dan nasib kerajaan.
Akhirnya setelah 40 tahun, Mangkunegara I dan Hamengkubuwana I bekerjasama
untuk melawan Pakubuwana IV, yang melakukan langkah – langkah militer untuk
mempersatukan kembali kerajaan Jawa dibawah kepemimpinan Pakubuwana IV.
Musuh – musuh Pakubuwana IV mulai mengepung istana
tahun 1790, karena Pakubuwana berpikir bahwa dia tidak akan mungkin bisa
melawan kekuatan gabungan yang menentangnya diluar, maka dia menyerah. VOC
merasa lega, karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk biaya
peperangan. Bagi Yogyakarta, penyelesaian krisis ini hanya merupakan
keberhasilan yang parsial. Mereka telah mendesak VOC untuk bertindak, tetapi
tidak berhasil menurunkan status Surakarta. Krisis 1790 menghasilkan sebuah
perjanjian baru yang merumuskan unsur – unsur pokok dari pembagian yang
permanen atas Jawa Tengah.
Hamengkubuwana I wafat pada maret 1792, setelah
menjadikan Yogyakarta sebagai sebuah kerajaanyang amkmur, permanen dan kuat.
Dia mewariskan suatu tradisi kejayaan yang ingin diteruskan oleh putranya yang
kini bergelar, Hamengkubuwana II. Yogyakarta merupakan kerjaan Jawa yang paling
merdeka dan paling kuat sejak abad XVII, dan Hamengkubuwana I merupakan raja
terbesar dari dinasti Mataram sejak Sultan Agung.
Di Banten,sebuah kerajaan besar lain di Jawa, telah
timbul pula kesulitan – kesulitan pada pertengahan abad XVIII, tetapi akibat
yang muncul sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Jawa. Banten jauh lebih
dekat dengan Batavia, dibandingkan Surakarta ataupun Yogyakarta. Demi keamanan
milter Batavia dan Priangan, dan dikarenakan pentingnya arti financial Banten
sebagai sumber lada, maka pihak Belanda tidak bisa mengabaikan adanya
instabilitas di daerah itu. Banten pun tak luput dari pemberontakan yang
disebabkan oleh intrik – intrik politik pembesar kerajaan mereka.
VOC sangat letih karena banyak menghadapi
peperangan, dan tidak mengkhendaki terjadinya perang lagi. Imperium Belanda
yang pertama diIndonesia ini terlena dalam tidur pulas ditengah – tengah
merajalelanya korupsi, ketidakefisienan, dan krisis keuangan.
Bab III
Kesimpulan
Kedatangan bangsa barat ke Indonesia
didasari dengan kebutuhan untuk mendapatkan suplai barang dagang khususnya
rempah-rempah. Produk ini merupakan hasil bumi yang hanya bisa tumbuh di iklim
tropis seperti Nusantara yang tidak ada di Eropa namun merupakan kebutuhan yang
vital untuk menjaga kelangsungan hidup mereka terutama saat musim dingin. Orang
Barat yang pertama tiba di Indonesia yakni Bangsa Portugis lalu disusul oleh
Bangsa Spanyol dengan mengatasnamakan gereja katolik. Misi pelayaran mereka
dikenal pula dengan sebutan 3G (Glory,
Gospel, Gold).
Bangsa Belanda turut pula mencari sumber rempah-rempah karena ditutupnya
Kota Lisbon di Spanyol. Sampailah Belanda untuk pertama kalinya di bumi
Nusantara tepatnya di pelabuhan Banten. Setelah armada dagang pertama Belanda
pulang kembali ke negerinya dengan membawa barang dagang dengan harga yang
lebih murah, armada dagang Belanda yang berikutnya kembali lagi ke Nusantara
dengan jumlah yang lebih banyak. Pada mulanya mereka menjadi pedagang bebas di
Nusantara dalam mendapatkan rempah-rempah tetapi tergiur akan profit yang
sangat besar Belanda pun akhirnya memonopoli perdagangan rempah-rempah juga
komoditi lainnya yang laku di Eropa. Mulanya Belanda berada di Nusantara atas
nama perusahaan-perusahaan dagang di Belanda yang kemudian membuat kongsi
dagang bernama VOC lalu setelah VOC bubar pemerintah Belanda mengambil alih
pemerintahan HIndia-Belanda.
"Masa depan negara kepulauan terbesar di dunia ini akan pelik,
menarik, dan penting, sebagaimana sejarahnya," tulis Ricklefs mengakhiri
buku ini. Perjalanan panjang Indonesia sejak masuknya Islam hingga kini
merupakan sebuah unit historis terpadu, yang dalam buku ini disebut Sejarah
Indonesia Modern. M.C. Ricklefs menyuguhkannya secara mendasar sekaligus
teperinci. Terdapat tiga unsur fundamental menjadi perekat bagi periode
historis itu. Pertama, unsur kebudayaan dan keberagamaan: islamisasi Indonesia
yang dimulai sejak tahun 1200 dan berlanjut sampai sekarang. Kedua, unsur
topik: keadaan saling memengaruhi antara orang Indonesia dan orang Barat yang
masih berlangsung hingga sekarang sejak tahun 1500. Ketiga, unsur historiografi:
sumber-sumber primer bagi sebagian besar periode ini ditulis dalam
bahasa-bahasa Indonesia modern (Jawa, Melayu, dll., bukan dalam bahasa Jawa
Kuno atau Melayu Kuno) dan bahasa-bahasa Eropa.
Bab IV
Kritik
Buku ini sangat relevan digunakan
sebagai salah satu sumber buku bacaan bagi mahasiswa yang sedang belajar
sejarah Indonesia. Di balik struktur narasinya, buku ini menjawab
pertanyaan bagaimana komunitas-komunitas dari berbagai kepulauan Indonesia,
dengan rupa-rupa etnis, bahasa, dan dalam negara-negara kerajaan yang
terpisah-pisah, bisa bersatu menjadi sebuah bangsa modern. Edisi pertama buku
ini diterbitkan dalam bahasa Inggris pada 1981 dan telah beberapa kali
diperbarui. Buku ini adalah edisi terbaru dengan perubahan pada hampir setiap
bab yang mencerminkan masukan-masukan dari penelitian baru. Segala hal dalam
periode sejak 1999 telah ditulis ulang secara substansial atau sama sekali
baru. Kehadiran versi Indonesia ini terasa semakin lengkap karena pengarangnya
khusus menuliskan perkembangan Indonesia sejak pemilu 2004 sampai tragedi Monas
pada 1 Juni 2008. Kredibilitas penulis dalam historiografi pun tak diragukan
lagi karena M.C. Ricklefs adalah Profesor Sejarah di Universitas Nasional
Singapore. Dia pernah mengajar di Sekolah Kajian Oriental dan Afrika
(Universitas London) dan Universitas Monash, dan menjadi Direktur Sekolah
Penelitian tentang Asia dan Pasific (Universitas Nasional Australia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar