Sabtu, 17 Juli 2010

SEJARAH INDONESIA MODERN (M.C. RICKLEFS)




Bab I
Identitas Buku

Judul
: Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (revisi kedua)  
No. ISBN
: 978-979-024-115-2 
Penulis
: M.C. Rickefs 
Penerbit
Tahun Terbit
: 2008 
Jumlah Halaman
: 866 


Jenis Cover
: Hard Cover 
Dimensi(L x P)
: 150x235mm
Kategori
: Sejarah Indonesia 


Teks Bahasa
: Indonesia 
   Cover Buku                        :
                       




                                                                           








Bab II
Isi Buku

Kedatangan orang-orang Eropa yang pertama di Asia Tenggara pada awal abad XVI  dan Kekuatan besar yang sedang berkembang di dunia saat itu adalah islam; pada tahun 1453, orang-orang Turki Usmani menaklukan Konstantinopel. Akan tetapi orang-orang Eropa, terutama orang-orang Portugis, mencapai kemajuan-kemajuan dibidang teknologi tertentu yang kemudian melibatkan bangsa Portugis dalam salah satu petualangan mengarungi samudera yang paling berani sepanjang zaman. Dengan bekal pengetahuan geografi dan astronomi yang bertambah baik banyak darinya berasal darinya berasal dari bangsa Arab, yang sering kali tersebar dikalangan kristen Eropa lewat para sarjana Yahudi.
Bangsa Portugis tidak hanya mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi yang memungkinkan mereka berekspansi ke sebrang lautan; mereka juga memiliki tekad dan kepentingan untuk melakukan itu atas dasar dorongan Pengeran Henry “Si Mualim” (1460) dan para pelindung lainnya, para petualang dan pelaut Portugis memulai pencarian mereka menyusuri pantai barat Afrika untuk menemukan emas, memenangi pertempuran, dan meraih jalan untuk mengepung lawan yang beragama islam. Mereka juga berusaha mendapatkan rempah-rempah, yang berarti mendapatkan jalan ke Asia dengan tujuan memotong jalur pelayaran para pedagang islam yang melalui tempat penjualan mereka di Venesia di Laut Tengah (Mediterania. Pada tahun 1487, Bartolomeus Dias mengitari Tanjung Harapan dan memasuki perairan Samudera HIndia. Pada tahun 1497 , Vasco de Gama sampai di India. Pada tahun 1503, Alfonso de Albuquerque berangkat menuju India, dan pada tahun 1510 dia menaklukan Goa dipantai barat kemudian yang kemudian menjadi pangkalan tetap Portugis.
Setelah mendengar laporan-laporan pertama dari para pedagang Asia mengenai kekayaan Malaka yang sangat besar, maka raja Portugal mengutus Siogo Lopes Sequera untuk menemukan Malaka, pada tahun 1509. Pada mulanya dia di sambut baik oleh Sultan Mahmud Syah (1488-1528), tetapi kemudian komunitas dagang islam internasional yang ada di kota itu meyakinkan Mahmud bahwa Portugis merupakan ancaman besar baginya. Akhirnya Sultan Mahmud berbalik melawan Sequira, menawan beberapa orang anak buahnya dan membuang beberapa orang yang lain. Ia juga mencoba menyerang empat kapal Portugis, tetapi keempat kapal tersebut berlayar ke laut lepas.
Pada bulan April 1511, Albuquerque melakukan pelayaran dari Goa menuju Malaka dengan kekuatan kira-kira 1200 orang dan 17 atau 18 buah kapal. Peperangan pecah segera setelah kedatangannya dan berlangsung secara sporadis sepanjang bulan Juli dan awal Agustus. Albuquerque tinggal di Malaka sampai November 1511.
Segera setelah Malaka ditaklukan dikirimlah misi penyelidikan yang pertama ke arah timur di bawah pimpinan Fransisco Serrao. Pada tahun 1512 kapalnya mengalami kerusakan, tetapi dia berhasil mencapai Hitu (Ambon sebelah utara). Para penguasa kedua pulau yang bersaing, Ternate dan Tidore, untuk menjajaki kemungkinan memperoleh bantuan dari Portugis.
Hubungan Portugis dengan Ternate berubah menjadi tegang karena upaya (yang agak lemah) Portugis melakukan Kristenisasi dan karena perilaku tidak sopan dari orang-orang Portugis sendiri pada umumnya. Pelosok di ujung lain dunia ini jarang menarik perhatian orang Portugis terkecuali orang-orang yang putus asa dan serakah. Pada tahun 1545 Raja Ternate Raja Tabariji yang telah masuk kristen wafat. Namun sebelum wafat, dia telah menyerahkan pulau Ambon kepada orang Portugis yang menjadi ayah baptisnya, Jordao de Freitas.
Setelah bangsa Portugis datanglah orang-orang Belanda, mereka membawa organisasi, persenjataan, kapal-kapal. Pada tahun 1595, ekspedisi Belanda yang pertama siap berlayar ke India timur. Sebanyak 4 buah kapal dengan 249 awak dan 64 pucuk meriam berangkat di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Pada bulan Juni 1569, kapal-kapal de Houtman tiba di Banten yang merupakan pelabuhan lada terbesar di Jawa Barat. Di situ orang-orang Belanda segera terlibat dalam konflik, baik dengan orang-orang Portugis maupun dengan orang-orang pribumi. Pada tahun 1597, sisa-sisa ekspedisi itu kembali ke negeri Belanda dengan membawa cukup banyak rempah-rempah di atas kapal mereka untuk menunjukan bahwa mereka mendapat keuntungan. Pada tahun 1598, 22 buah kapal milik lima perusahaan yang berbeda mengadakan pelayaran; 14 diantaranya akhirnya kembali. Armada yang berada dibawah pimpinan Jacob van Neck lah yang pertama tiba di “kepulauan rempah” Maluku pada bulan Maret 1599 dimana rombongannya diterima dengan baik; kapal-kapalnya kembali ke Belanda pada tahun 1599-1600 dengan mengangkut cukup banyak rempah-rempah yang menghasilkan keuntungan 400 persen.
Pada tahun 1598, Parlemen Belanda (Staten Generaal) mengajukan sebuah usulan perseroan-perseroan yang saling bersaing itu seharusnya menggabungkan kepentingan mereka masing-masing ke dalam suatu kesatuan, dan pada bulan maret 1602 terbentuk perserikatan maskapai Hindia timur, VOC (Vereening-de Oost-Indische Compagnie).
Pada tahun 1610 diciptakan jabatan gubernur jenderal dan untuk mencegah kemungkinan kekuasaan  gubernur jenderal yang bersifat despotis, maka dibentuklah dewan Hindia (Raad van indie) untuk menasihati dan mengawasinya. Selama masa jabatan tiga orang gubernur jenderal yang pertama (1610-1619), yang dijadikan pusat VOC adalah Ambon, tetapi tempat ini ternyata tidak begitu memuaskan sebagai markas besar.
Pada tahun 1600, Elizabeth I memberi sebuah oktroi kepada maskapai Hindia timur (The East India Company), dan mualilah Inggris mendapat kemajuan di Asia. Pada tahun 1604, pelayaran kedua Maskapai Hindia Timur Inggris yang dipimpin oleh Sir Henry Middleton berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon, dan Banda. Akan tetapi, di wilayah ini mereka mendapat perlawanan dari pihak VOC, dan dimulailah persaingan sengit Inggris dan Belanda untuk mendapat rempah-rempah.
Pada tahun 1619, Jan Pieterszoon Coen menjadi gubernur jendral (1619-1623,1627-1629), Coen lebih menyukai Jayakerta (Jakarta) yang di kuasai oleh Pangeran Wijayakarma, untuk dijadikan sebagai markas besar VOC yang permanen. Dan VOC pun berhasil menduduki Jayakerta dan mengubah namanya menjadi Batavia. Akan tetapi, timbul pula dampak-dampak yang kurang menguntungkan bagi VOC. Pendudukan permanen atas Batavia itu memerlukan banyak biaya untuk mengelolanya.
Negara-negara Baru yang menganut agama islam muncul di Indonesia ketika orang-orang Eropa tiba untuk pertama kalinya, ada tiga negara yaitu : Aceh, Jawa, dan Sulawesi selatan.
Pada awal abad XVII, untuk beberapa waktu lamanya, Aceh muncul sebagai negara yang paling kuat, makmur, dan beradab dikawasan tersebut. Penguasa Malaka, Sultan Mahmud, meninggalkan ibu kota negaranya yang  telah dikalahkan oleh orang Portugis, dan beberapa kali berpindah tempat, akhirnya dia berhasil menegakan kembali dinasti Malaka di Johor pada tahun 1518.
Di seberang selat Malaka, Aceh sedang tumbuh sebagai sebuah negara yang kuat pada saat kedatangan orang-orang Portugis. Sebelum kira-kira tahun 1500, Aceh belumlah begitu menonjol. Sultan pertama kerajaan yang sedang tumbuh ini adalah Ali Mughayat syah (1514-1530). Selama akhir abad XVI, Aceh tetap merupakan suatu kekuatan militer sangat penting di kawasan selat Malaka. Akan tetapi, negara ini sering dihambat oleh pertikaian dalam negeri.
Pada awal Abad XVII, penguasa terbesar diantara penguasa-penguasa aceh menduduki singgasana. Dalam dalam waktu singkat, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) membentuk Aceh menjadi negara yang paling kuat di nusantara bagian barat. Negara Aceh di bawah pemerintahan Iskandar Muda, dalam masa yang dianggap sebagai “zaman keemasan”.
Di Jawa berdiri negara-negara baru yang sudah menganut Islam. Mula-mula ada beberapa negara yang berpengaruh, tetapi pada awal abad XVII hanya tinggal tiga pusat politik utama yang mengonsolidasikan kekuatan mereka: Banten di Jawa Barat, Mataram di wilayah pedalaman Jawa Tengah, dan Surabaya di Jawa Timur.
Negara Islam yang paling penting di wilayah pantai utara Jawa pada awal Abad XVI adalah Demak. Pada masa itu, Demak merupakan sebuah pelabuhan laut yang baik, walaupun timbunan lumpur yang sangat banyak dipantai pada abad-abad berikutnya telah menjadikan demak sekarang terletak beberapa kilometer dari laut. Demak didirikan pada perempat terakhir abad XV oleh seorang asing yang bernama islam, yang kemungkinan orang Cina bernama Cek Ko-po. Putranya diberi nama “Rodim” oleh orang-orang Portugis, yang kemungkinan besar sama dengan Badruddin atau Kamaruddin; tampaknya dia meninggal sekitar tahun 1504. Pada masa perluasan militer Demak, kerajaan Hindu-Budha di Kediri berhasil ditaklukan sekitar tahun 1527. Usaha-usaha penaklukan yang dilakukan demak yaitu kerajaan-kerajaan yang belum menganut islam. Pada pertengahan kedua yaitu pada abad XVI, harapan Demak untuk menguasai Jawa hancur berantakan. Penguasa Demak yang keempat yaitu Sultan Prawata, agak nya tidak berusaha melancarkan aksi-aksi seperti yang telah dilakukan pendahulunya, Trenggana.
Pada pertengahan kedua abad XVI, muncul dua kekuatan baru di wilayah pedalaman Jawa Tengah yaitu kerajaan Pajang dan Mataram (lokasi kota Surakarta dan Yogyakarta) merupakan daerah-daerah pertanian yang sangat subur. Kerajaan Pajang yang pertama kali muncul, Mataram adalah daerah yang menghasilkan dinasti Jawa modern yang paling lama. Ada  juga kerajaan di Jawa Timur yaitu Surabaya, sebuah dokumen VOC dari tahun 1620 menggambarkan Surabaya sebagai sebuah negara yang luas dan kaya. Luasnya kurang lebih lima mil Belanda (kira-kira 37 km), yang dikelilingi sebuah parit dan diperkuat dengan meriam. Di luar Jawa juga yaitu Bali ada sebuah kerajaan bernama Kerajaan Gelgel selama masa keemasannya pada Abad XVI.
Di Sulawesi Selatan terdapat beberapa negara kecil yang terbagi antara dua suku bangsa serumpun, Makassar dan Bugis. Kedua suku bangsa ini sangat terkenal karena reputasi mereka sebagai prajurit-prajurit yang paling ditakuti di Nusantara dan mereka juga prajurit-prajurit yang profesional. Pada tahun 1605 Raja Gowa memeluk islam. Tampaknya ajakan terhadap Bone, negara orang-orang dari suku bugis , dan negara-negara lain supaya memeluk agama baru ini ditolak. Gowa menanggapi penolakan itu dengan melancarkan serangkaian serangan pada tahun 1608-1611 sehingga mengakibatkan tersebarnya agama islam di seluruh wilayah Bugis-Makassar.
Negara-negara baru yang muncul di Indonesia yang bercorak agama Islam menciptakan sebuah budaya yang beraneka ragam yang tidak hanya bernapaskan Islam tetapi juga dipengaruhi oleh kebudayaan pra Islam juga. Pada saat itu tidak ada kesatuan ‘Indonesia’, yang ada hanyalah kelompok kelompok yang memiliki tradisi di suku-suku tertentu. Kelompok yang melakukan perniagaan laut menjadi kelompok yang dapat menembus batasan bahasa karena adanya bahasa lingua franca.
            Di Nusantara bagian barat, Melayu klasik yang pengaruh Islamnya kuat berkembang di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Malaka menjadi model bagi penguasa Melayu bukan hanya dalam hal politik teapi juga dalam hal budaya adanya kitab  Sejarah Melayu. Muncul juga karya-karya berbahasa Melayu dari Hamzah Fansuri, Syamsuddin, Abdurrauf dan Nuruddin ar – Raniri. Dalam perbedaan aliran tulisan karyanya, terjadi perdebatan karena ar – Raniri mengangap bahwa aliran karya Hamzah dan Syamsuddin yang beralirah tasawuf ia anggap sebagai klenik. Tetapi karya Hamzah dan Syamsuddin dapat diterima dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lainnya dan pada saat pemerintahan Iskandar Muda, Syamsuddin dapat dukungan dari beliau.
            Pada tahun 1637, ar – Raniri tiba di Aceh dengan perlindungan Sultan Iskandar Tsani. Ia menghukum penganut tasawuf dengan cara membakar buku buku karya Hamzah dan Syamsuddin. Ia membuat karya buku dengan dasar penetapan kaidah-kaidah kesastraan dan apa yang ia pandang segbagai norma keagamaan yang ortodoks dan buku yang terkemuka hasil karyanya adalah Bustan as-Salatin (Taman Raja Raja). Sedangkan pada masa Ratu Taj’ul Alam, Abdurrauf menjadi pengarang terpenting di istana Aceh. Selain Bustan as- Salatin ada Taj as-Salatin berisi tentang ajaran ajaran ortodoks manusia dan Tuhan. Ada pula hikayat hikayat dunia Islam yaitu Iskandar Dzulkarnain dan Hikayat Amir Hamzah.
            Hikayat Sri Rama, Hikayat Pandawa Jaya merupakan karya sastra Melayu yang beraliran Hindu dan kisah-kisah Hindu tersebut menjadi dasar alur cerita dari wayang kulit. Di samping karya sastra di atas, ada juga kronik yang merupakan suatu gaya kesastraan Melayu yang penting tampaknya telah ditulis pada masa pemeerintahan Iskandar Muda. Sebagian besar karya diatas berbentuk prosa.
            Terdapat perbedaan yang mencolok antara karya sastra Jawa dan Melayu, dimana si Jawa penulisan sastranya dalam tulisan India berbeda dengan Melayu yang menggunakan tulisan Arab serta karya sastra Jawa sering membuat sastra dalam bentuk sajak macapat kira kira 20 bait mantra. Pertunjukan wayang di Jawa merupakan sarana penting dalam memelihara dan mempertahankan peninggalan Hindu-Budha di Jawa yang sudah mengalami proses Islamisasi tetapi masyarakat Jawa tidak sadar bahwa hal itu berasal dari masa pra Islam. Kebudayaan Islam juga mempengaruhi sejumlah besar cerita roman Jawa.
            Konflik yang teejadi di Aceh tidak terjadi di Jawa sebelum abad XIX, dari naskah Islam di Jawa dapat diketahui bahwa kalangan masyarakat Jawa berlaku ajaran tasawuf. Pada akhir abad 18 dan 19 Islam Jawa membentuk pola ‘sintesis mistik’ yang ciri cirinya: 1. Identitas kesilaman yang kuat, yaitu seorang Jawa haruslah seorang muslim, 2. Taat pada rukun islam, tetapi juga 3. Kepercayaan pada kekuatan gaib lokal Jawa. Poin terakhir tersebut menimbulkan pertentangan.
            Kronik atau babad merupakan bagian penting dalam kesastraan Jawa seperti Babad Tanah Jawi yang biasanya kronik itu lebih memusatkan pada perhatian terhadap raja raja, pahlawan, pertempuran dan selingan-selingan romantis. Pengenalan identitas pengarang sastra di Jawa sulit diketahui, hanya Carik Bajra atau Tirtawiguna yang dapat diketahui dari dokumen VOC. Ia aktif di istana Kertasura dan menciptakan Babad Kartasura dan karya-karya lain. Ia juga mendorong munculnya banyak karya yang bersemangatkan Islam termasuk terjemahan kisah Amir Hamzah ke dalam bahasa Jawa berjudul Serat Menak.
            Yasadipura I bisa disebut sebagai penulis terbesar di Jawa sebelum adab 19 apabila karya yang dinisbahkan kepadanya benar ditulis olehnya saendiri. Ia menghasilkan 4 buah karya yaitu Serat Rama, Serat Bratayuda, Serat Mintaraga, dan Lokapala, ia juga membuat terjemahanan Serat Menak, Dewa Ruci, Serat Panitisastra, Tajus as-Salatin dan Tapel Adam serta ia juga menulis karya yang sifatnya sejarah yaitu Serat Cabolek dan Babad Giyanti.
            Kesastraan Bali dapat dibagi menjadi 3 berdasarkan bahasanya yaitu Jawa Kuno, Jawa-Bali, dan Bali. Jawa Kuno mencerminkan peranan penting Bali dalam mempertahankan warisan kesusastraan Jawa pra-Islam. Orang-orang Bali menolak agama Islan dan tetap mempertahankan warisan kesastraan dan agama di Jawa yang telah berubah namun tidak pernah terhapus akibat Islamisasi. Kesastraan yang berbahasa Jawa-Bali sebagian besar didominasi oleh kidung atau nyanyian berisi legenda-legenda yang romantis zaman Majapahit atau tokoh-tokoh pahlawan  rakyat bukan para bangsawan. Ada pula sastra Jawa-Bali tentang keagamaan dan kronik Pararaton. Kesastraan yang ketiga yaitu bahasa Bali berisi tentang sejarah kerajaan mereka yang lebih banyak dalam bentuk babad. Bentuk-bentuk lain kesastraan juga ditulis dalam bahasa Bali, yang sering sangat dipengaruhi oleh cerita-cerita atau  norma-norma kesastraan Jawa Kuno dan Pertengahan.
            Wayang Bali memiliki persamaan dengan wayang di Jawa yang mengambil alur cerita dari cerita Ramayana dan Bharatayudha, lakon Calon Arang dan Panji juga dipergelarkan. Tetapi ada perbedaan dalam segi fisik dimana wayang Bali lebih kasar  dan lebih sederhana daripada wayang yang ada di Jawa.
            Suku Bugis dan Makassar memiliki keterkaitan erat dalam kesastraannya, mereka menggunakan tulisan sendiri yang hampir sama dengan tulisan di Sumatera yang pada dasarnya berasal dari bentuk tulisan India. Kesastraan mereka banyak berupa terjemahan dari karya-karya keagamaan berbahasa Melayu dan Arab termasuk terjemahan dari ar- Raniri. Syair Kepahlawanan, La Galigo mengenai raja Sulawesi yang legendaris dan La Galigo mesih dianggap keramat oleh orang Sulawesi dewasa ini. Kesastraan Bugis dan Makassar dibagi mejadi 2 yaitu patturioloang yang berbahasa Makassar dan attoriolong yang berbahasa Bugis. Kesastraan ini berbeda dengan yang ada di Jawa, Bali dan Melayu dimana lebih dihindarinya unsur-unsur mitologi atau legenda. Catatan harian ini menjadi sumber sejarah yang berharga dan tradisi penulisan catatan buku harian ini tidak dilakukan di daerah lain di Indonesia. Jadi pada intinya kesastraan yang disebutkan diatas itu hampir dipengaruhi oleh Melayu dan Jawa.
            Kesenian Indonesia yang berbentuk visual  sangat menonjol dalam kebudayaan klasik Indonesia dimana pertunjukannya itu lebih bersifat sakral. Wayang, keris, batik, dan tari-tarian memiliki nilai keagamaan dan memancarakan hal hal gaib. Oleh karena itulah kesenian Indonesia dilingkupi ritual ritual dan kaidah kaidah yang rumnit.
            Musik klasik Indonesia berkaitan erat dengan  pertunjukan drama, musik Jawa menjadi lebih penting dibanding daerah lain karena masih dapat ditemukannya alat alat musik yang benar-benar kuno. Ada anggapan bahwa Jawa pada zaman pra-sejarah merupakan pusat kebudayaan musik gentong-gong. Orkes gamelan Jawa sebagian besar tersiri atas instrumen yand dipukul, seperti bonang, gong, genta-genta gong lain dan instrumen lain yang menyerupai xylophone dan gamelan juga sering dilengkapi dengan kecapi, rebab, suling dan penyanyi serta dipimpin oleh seorang penabuh genderang. Orkes gamelan mempunyai identitas-identitas spiritual dan nama-nama diri , diberi sesajian, dan beberapa diantaranya harus dilakukan pada kesempatan tertentu dan melodi gamelan juga terikat oleh kaidah-kaidah sakral. Tradisi gamelan Sunda, Bali dan Madura dengan mudah dibedakan dari gamelan Jawa, tetapi prinsip umum dan instrumen musik pukulnya hampir sama.
            Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dibalik adanya peperangan, persekongkolan, dan penderitaan yang mendominasi lembran sejarah telah tumbuh beraneka ragam tradisi budaya yang didasari oleh rasa keagamaan yang mendalam.
            Sekitar tahun 1630, Belanda mengalami kemajuan dimana mereka berkuasa atas Ambon, menguasai Batavia, Malaka Portugis jatuh ke tangan VOC, dan berakhirnya perang di Eropa antar Belanda dan Spanyol. Tetapi hal itu tidak membuat VOC aman, mereka harus membuat kebijakan militer yang lebih agresif untuk memuluskan rencana rencananya. Antonio van Diemen, Joan Maaetsuycker, Rijkolf van Goens, dan Coernelis Janszoon Speelman Gubernur Jenderal yang lebih menekankan pada ekspansi militer VOC.
            Ekspansi pertama VOC dilakukan di daerah Maluku dimana VOC ingin memonopoli berbagai macam rempah rempah dengan melakukan persekutuan lokal dengan Muslim Hitu dan pasukan pasukan Ternate yang ada di Hoamoal dengan dukungan kerajaan Gowa Makassar. Hal ini mendapar reaksi dari kelompok anti VOC yang dipimpin oleh Kakiali murid Sunan Giri yang menggantikan ayahnya ‘Kapitein Hitoe’, ia berpura pura bersahabat dengan VOC tetapi sekaligus mendukung kelompok anti VOC. Penyelundupan cengkih semakin berkembang dan hal itu melanggar peraturan VOC. Pada 1634, Kakiali ditawan di atas kapal VOC dan menyebabkan terjadinya peperangan.
            Pada tahun 1637, Van Diemen ikut dalam melancarkan pengusiran serangan pasukan Ternate. Demi meraih dukungan penduduk Hitu ia membebaskan Kakiali dan mendudukannya kembali menjadi ‘Kapitein Hitoe’ dan sejak saat itu Kakiali mengambil langkah langkah membentuk persekutuan dan mendorong agar melakukan perdaganga rempah rempah gelap tetapi Sultan dari Gowa bersikap hati hati karena takut akan VOC.
            Pada 1638, Van Diemen kembali ke Maluku untuk melakukan perundingan dengan VOC dimana VOC meminta kekuasaan secara de facto terhadap Maluku Selatan dan memberhentikan penyelundupan cengkih dan pihak VOC mengakui kedaulatan Ternate atas Seram dan Hitu tetapi perundingan ini tidak menemui kata sepakat dan pertempurean pertempuran kecil masih berlnjut menentang VOC. Pada saat Kakiali dan Makassar sekutunya melancarkan serangan ke VOC, VOC sadar bahwa mereka hanya pura pura menjadi sekutunya dan hal itu mendapat perlawanan dari VOC yang mempunyai pasukan lebih banyak karena VOC telah menguasi Malaka.
            Pada tahu 1643, VOC berhasil memukul mundur pasukan Makassar di Hitu dan melancarkan pembunuhan terhadap Kakiali dan berhasil merebut benteng Kakiali tetapi pasukan Kakiali masih melakukan perlawanan kepada VOC. Pemimpin terakhir Hitu, Telukabesi menyerah dan bersedia memeluk agama Kristen dan akhirnya ia dihukum mati di Ambon. Pada tahun 1647, Arnold de Vlaming van Outshroorn menjadi gubernur jenderak di Maluku yang menjadi solusi dari maraknya pelanggaran terhadap kebijakan VOC yang dilakukan orang orang Ternate dan Makassar. Ia mengembangkan agama Katolik di Ambon dan melakukan tindakan tindakan militer yang keras selama masa jabatnannya yang kedua di Maluku.
            Pada tahun 1650, Raja Ternate Mandar Syah mengalami kudeta dan ia melarika diri ke VOC untuk meminta bantuan. De Vlaming dapat mengatasi masalah tersebut dan kembalilah Mandar Syah menjadi raja Ternate tertapi pasukan VOC banyak yang mati karena serangan secara tiba tiba oleh kelompok kecil penentang berkuasanya kembali raja Ternate. Tetapi pada kesempatan lain, VOC membawa Mandar Syah ke Batavia untuk menandatangani perjanjian tentang pelarangan penanaman cengkih selain di Ambon dan Pala di Banda dengan demikian VOC dapat meraup keuntungan yang sangat besar dari monopoli ini. Pada 1652 – 1658 terjadi peperangan antara orang orang Ternate dan Makassar dengan VOC dan orang Ambon Kristen, peperangan ini dimenagkan oleh VOC yang mengakibatkan tanaman rempah rempah di daerah Hoamoal dimusnahkan dan daerah ini tidak boleh didiami oleh manusia.
            Sultan Safiudin dari Tidore yang terkenal teladan dan baik kepada rakyatnya, meminta bantuan kepada VOC untuk mengusir Spanyol pada 1662 dan pada 1663 Spanyol benar benar pergi dari Maluku, sehhingga VOC menjadi kekuatan paling utama di wilayah ini. VOC memberikan kompensasi kepada penguasa untuk memusnahkan rempah rempah justru memperkuat para penguasa itu, contohnya Sultan Mandar Syah yang bertahan lamamenjadi raja nakibat kerjasamanya dengan VOC yang memang memberikan keuntungan juga. Tetapi pemusnakan rempah rempah tersebut tidak berjalan dengan lamcar masih banyak rakyat yang menanam rempah tanpa sepengetahuan VOC dan menimbulkan kegiatan penyelundupan rempah rempah untuk menentang monopoli VOC.
             Dibandingkan dengan persekutuan atau tidaknya Maluku dengan VOC, masih lebih kecil dari besarnya persaingan local antara Ternate dan Tidore yang pada akhirnya membuaat Sultan Safiudin yang bersekutu dengan VOC menang atas Sultan Amsterdam dari ternate tetapi ia dimaafkan dan dikembalikan pada singgasananya walau sebagai boneka dan pengikut setianya dihukum mati. Pada saat Tidore mengalami masa suram dengan adanay pemberontakan VOC masih setia membantu Tidore dengan secara tidak langsung memainkan peran menentukan dalam politik Maluku.
            Pada akhir abad-18, kedudukan Belanda diusik dengan kongsi dagang Inggris dan para pedangan swasta yang datang ke Maluku setelah menemukan jalur pelayaran baru lewat Papua dan mengakibatkan adanya gangguan politik terhadap VOC ditambah lagidengan pasukan Ilanun dari Filipina menyerang Maluku. Dari sini dicurigai adanya campur tangan Tidore sehingga Sultan Tidore dilengserkan. Serta ada pemberontakan dari Kacili Nuku terhadap VOC dan VOC dapat mengalahkannya tetapi tidak dapat menangkapnya.
            Pada Oktober 1783, Tidore mengakui daerah kekuasaan Nuku, Tidore menyerang pos pos VOC dan membunuh orang orang Eropa yang ada disana. Hal ini mempercepat respons berkelanjutan persaingan antara Ternate dan Tidore. Di bulan Desember, VOC memaksakan perjanjian dengan Tidore dan mengembalikan Pangeran yang pernah siasingkan ke Srilangka, Sultan Alam Kamaluddin Kaicili Asgar, tetapi sebagai boneka VOC. Sedangkan Nuku tetap mendominasi perbatasan timur wilayahnya.
            Pada akhir abad 17, musuh utama hegemoni militer VOC adalah Kesultanan Gowa Makassar yang memiliki pemimpin yang cakap, memiliki sisterm weewnamg pemerintahan ganda akibat aliansi dengan Tallo dimana sultan sultan berasal dari garis keturunan Gowa sementara perdana menterinya dari Tallo. VOC melancarkan misi untuk menghancurkan Gowa dengan cara menjalin kerjasama dengan orang yang memang berpengaruh di Gowa, ia adalah Arung Palaka atau La Tenritstts to Unru seorang pangeran Bugis. Pemberontakan muncul dari Negara Negara bawahan Gowa termasuk dari Arung Palaka pada tahun 1660 tetapi hebatnya Gowa dapat menumpas pemberontakan itu dan para pemberontak melarikan diri ke daerah Pulau Butung. Pada 1663, VOC mengabulkan permohonan mereka untuk tinggal di Batavia dan mereka disana menjadi serdadu VOC yang membuat pihak Belanda terkesan dengan keterampilan berperang mereka.
            Setelah konflik konflik antara VOC dan Gowa berlanjut hamper tak terputus yang sering menimbulkan perang, kedua belah pihak mencoba jalan damai tetapi tidak dapat terlanksana dan pada puncaknya Jenderal Maetsuycker dan Dewan HIndia mengambil keputusan untuk menghdapi Gowa dengan persiapan yang kuat disana Arung Palak terlibat ditambah dengan orang orang Bugis yang ikiut mendukung VOC untuk menghancurkan Gowa, Paglima perang pada saait itu ada Coernelis Speelman yang nantinya menjadi Gubernur Jenderal. Pada 1666, VOC dan pasukannya tiba di Makassar hal ini disambut gembira oleh VOC karena sesuai harapan bahwa orang orang Bugos dan Soppeng ikut mendukung VOC menghancurkan Gowa dan pada akhirnya terjadilah peperangan hamper 1 tahun dengan stratergi perang VOC di wilayah perairan atau laut sedangkan Arung Palaka di darat       dan VOC dapat memenagkan peperangan ini sehingga muncul perjanjian Bongaya antara VOC dan Sultan Hasanudin. Tetapi Sultan Hassanudin kembali mencoba melawan VOC dan untuk kali kedua ia kalah telak
            Di akhir peperangan, perjanjian Bongaya benar benar dilaksanakan yang membuat perubahan kekuasaan yang awalnya dikuasai oleh Gowa sekarang dikuasai oleh Bone, dan hal ini dimanfaatkan oleh VOC untuk merebut benteng dan membuat benteng benteng pertahanan untuk menjaga pengaruh Spanyol dan Ternate masuk, Bone juga mengusir pedagang Eropa kecuali VOC yang mendapat daerah kekuasaan di Gorontalo dan daerah lainnya.
            Arung Palaka yang memerintah secara otoriter terus menacapkan kekuasaannya di daerah Makassar dengan cara melancarkan serangan terhadap Negara Negara yang memberontak yang mengakibatkan sengsaranya orang Makassar dan Bugis sehingga mereka mencoba untuk kabur dari daerah Makassar ke daerah lain yang lebih aman hingga sampai ke daerah Siam. Sementara VOC sedang dalam masa masa jayanya dalam hal penguasaan wilayah di daerah Timur dimana Tenrnate, Tidore dan Gowa menjadi daerah yang lemah tidak seperti dahulu sehingga tujuan utana VOC untuk memonopoli rempah rempah bias lancar. Tetapi tidak sesuai perkiraan, VOC justru megalami kesulitan dalam hal penawaran, permintaan dan harga secara tepat sehingga sering kali terjadi perubahan kebijakan serta VOC mengalmi kendala dimana rempah rempah menjadi kurang dalam perdagangan dunia karena kalah bersaing dengan lada yang pada abad ke 17 lebih dibutuhkan disamping terkstil, kopi dan teh.
            VOC pada abad ke 17 mempunyai dua pusat perhatia yaitu Maluku yang sudah dikuasainya serta Jawa yang dapat membuka jalan politik intervensi pihak Belanda. Di daerah timur lainnya, Flores dalam usaha untuk menguasainya VOC mengalami kendala dimana disana ada orang orang Portugis Hitan atau Topas tetapi VOC dapat menguasai daerah tersebut dengan keuntungan dapat mengekspoitasi kayu cendana yang ada disana walaupun hanya sedikit jumpalnya. Sedangkan di daerah Roti, VOC dapat ikut campur dengan faksi faksi local melakukan serangan berdarah yang membantu Roti menjadi pusat perbekalan bagi Kupang dan menjadi sumber budak tetapi tidak ada benteng VOC yang kokoh di Roti. Penguasa di Roti memanfaatkan kehadiran VOC dengan cara beralih kepercayaan ke Kristen dengan tujuan awal untuk menaikan stastus social mereka dan rakyar rakyat di Roti pun ikut memeluk agama Kristen sehingga status social mereka menjadi naik tiba menjadi budak. Dalam perkembangannya Kristen di Roti sangat berkemabgn disana juga sudah banyak bangunan sekolah sekolah Kristen.
            Di Sulasesi Selatan masih berlanjut persaingan militer antar Bugis dan Makassar sedangkan VOC tetap mempertahankan posisinya sendiri di Makassar dan posisi sekutunya, Bone. Pada masa ini, muncul Arung Singkang keturunan keluarga Bugis dari Wajo dan dia adalah seorang perompak. Pada 1735, Arung Singkang kembali ke Sulawesi dan mulai berusaha merebut kekuasaan atas negara negara Bugis dan Makassare di Bone. Arung Singkang tidak diterima dengan baik di Sulawesi tidak heran setelah kedatangannya sering terjafi peperangan. Pada 1754, rakyat Wajo merasa telah cukup banyak terlibat dalam peperangan dan tidak bersedia membantu Arung Singkang, pada tahun itu juga ia meletakkan jabatannya sebagai penguasa Wajo. Pihak Belanda yang bersekutu dengan Bone tetap mengasai Makassar tetapi tidak menjalankan pengaruh signifikan atas daerah Wajo sampai akhir abad 19.
            Bali di abad 17 dan 18 bebas dari campu tangan VOC, Bali masih merupakan jajahan Raja Gelgel. Tetapi pada saat yang sama, kehadiran VOC di Batavia menciptakan pasara perdaganan baaru untuk perbudakan, hubungan ini memperkaya pesaing raja raja Bali yang menjual tahanan tahanan, para debitur dan para tawanan perang. Pada perempat abad terakhir abad 18, Karangasem mengalahkan Buleleng sepenuhnya dan menggantikannya sebagai kerajaan utama di Bali Utara setelah menjalani peprangan dengan Sumbawa, Lombok serta Buleleng yang bersekutu dengan petualang Bali,Surapati.
            Di Bali Selatan dikuasai oleh Mengwi di bawah pimpinan raja Gusti Agung Anom, ia mengambil keuntungan dari perselisihan suksesi di Buleleng setelah kematian raja Gusti Panji Sakti untuk merebut Blambangan dan mengadu domba para pesaing Buleleng tetapi ia sering berkali kali mendapat penggerebekan dan ssampai akhir hayatnya ia adalah penguasa dari sebagian besar Bali tengah dan selatan dan ia juga mendapat gelar kebangsawanan, Cokorda Gusti Agung. Gusti Agung Alengkajeng,putra Gusti Anom naik tahta menggantikan ayahnya. Ia menghabiskan senagian waktunya di Blambangan berusaha mempertahankan kekuasaan Mengwi disana, sisamping mempertahankan kekuasaannya ia juga sibuk dengan rencan kudeta kekuasaan di dalam keluarga Kerajaan Mengwi dan setelah ia wafat digantikan oleh Gusti Agung Made Munggu yang terkenal sebagai raja raja Bali yang sangat berkuasa. Namun, VOC mengambil alih Bali darinya dan Buleleng dicaplok Karanasem, hal ini membuat hilangnya mata rantai kepemimpinan kedudukan raja raja Bali di Jawa.
            Pada akhir abad ke 18, tak ada kemungkinan bagi satu Raja Bali pun untuk memaksakan kembali kewengangan terpusat seperti yang dilakukan oleh Gelgel pada abad 16 dan awal abad 17. Bali masih akn menghadapi konflik konflik sengit yang akhirnya mencapai puncak pada penaklukan berdarah oleh Belanda.
Hingga pertengahan abad ke – 18, keterikatan urusan – urusan Belanda, Madura, dan Jawa ini mengakibatkan timbulnya berbagai malapetaka.Walaupun pada awal abad 17 terjadi hubungan jalin – menjalin anatara VOC dan masyarakat Jawa, karena mempunyai kepentingan yang dianggap saling menguntungkan.
Pada awal masa pemerintahannya, Susuhunan Amangkurat II (1677 – 1703M), tampak benar – benar seperti ciptaan VOC tersebar desas – desus bahwa Amangkurat II adalah putra Speelman yang menyamar menjadi putra mahkota yang dulu. Bahkan tahun 16Tetapi setelah kebutuhannya akan persenjataan VOC berkurang, maka hilang pulalah rasa hormatnya terhadap VOC. Hubungan Raja dan VOC pun memburuk, ditambah dengan hal –hal lain yang seharusnya dilakukan pihak Amangkurat II untuk VOC sebagai akibat dari perjanjian-perjanjian sebelumnya, menjadi tidak dipenuhi dan tidak dilakukan oleh Amangkurat II.
VOC sendiri kini memasuki masa sulit yang panjang. Terlebih ketika Gubernur Jenderal Speelman maninggal pada tahun 1684, segala kebobrokannya dari mulai korupsi hingga penyalahgunaan kekuasaannya terbongkar, serta kesalahan – kesalahan fatal lain selama masa pemerintahannya tak luput terbongkar. Harta Speelman disita oleh VOC, tetapi masih banyak hart yang diselundupkan ke negri Belanda dalam batu permata. Personel VOC umumnya tidak mendapat kesempatan seperti apa yang telah dinikmati oleh Speelman, tapi sejauh mungkin mereka berusaha menandingi gaya hidupnya yang berakibat pada, inefisiensi, kebejatan moral, korupsi, serta tindakan kekerasan dan kekejaman kepada orang Indonesia, yang membuat orang Indonesia semakin membenci VOC. Jadi, dibalik masalah – masalah besar yang dibahas dalam bab ini, ada perkara – perkara kecil yang tidak berkesudahan, masalah – masalah pribadi yang menyebabkan timbulnya rasa permusuhan terhadap VOC.
Di Istna Kartasura, perasaan anti VOC terus tumbuh. Meskipun demikian, pihak keratn sangat berhati – hati agar tidak terjadi keretakan total, karena pengalaman telah memberikan cukup bukti tentng kemampuan militer VOC. Tahun 1684, mulai dipertimbangkan tindakan yng lebih keras, ketika disana kelak datang seseorang yang menjadi musuh paling dibenci oleh VOC ketimbang musuh manapun, dia adalah, Surapati, seorang budak Bali yang menetap di Batavia. Dia melarikan diri ke dataran tinggi diseblah selatan Batavia, dan menjadi pemimpin gerombolan perampok. Pada tahun 1683 secara tidak terduga, dia menyerah dan masuk dinas militer VOC. Tetapi, pada Januari 1684, dia menyerang sebuah pasukan VOC, namun akhirnya melarikan diri ke arah timur ketika mendapat serangan balasan dari VOC serta banyak anak buahnya yang menjadi korban. Kelompok anti –VOC yang dipimpin oleh Patih Anrangkusuma membujuk Raja agar melindungi Surapati serta gerombolannya yang berjumlah 80 orang.
Kapten Francois Tack, juru selamat Sultan Haji dari Banten, dan orang yang menjual mahkota emas Majapahit kepada Amangkurat II padatahun 1678, diangkat menjadi duta khusus ke Istana. Dia adalah orang Belanda yang paling dibenci oleh Amangkurat II. Menjelang hari kedatangan Tack di Istana, Raja mengalami suatu dilema. Dia tidak bersedia menyerahkan Surapati, tetapi dia juga takut menunjukkan perlawanannya secara terang – terangan pada VOC. Karena itu dilancarkan serangan tipuan oleh prajurit Raja terhadap tempat tinggal Surapati pada tanggal 8 Februari 1686. Tack tewas, konon terhadap 20 luka pada tubuhnya. Sumber – sumber berbhasa Jawa menyebutkan, pihak istana telah merencanakan serangan itu secara hati – hati. Bahakan disebutkan lebih lanjut bahwa Pangeran Puger – lah, yang keselamatannya menjadi perhatian khusus VOC,yang sebenarnya membunuh Tack.
Sesudah penyerangan tersebut, Surapati pergi ke Pasuruan di Jawa Timur, dan membentuk suatu daerah kekuasaan yang merdeka dimana Anrangkusuma menggabungan diri dengannya. Pengaruh Surapati di kawasan timur tidak terlepas dari kerjasamnya dengan raja – raja di Bali. Amangkurat II mulai tidak senang dengan perkembangan kawasan timur yang dipimpin oleh Surapati, dia pun mengirimkan pasukan pada tahun 1690 untuk menundukkan Surapati, tetapi gagal sama sekali. Pasukan Jawa tidak terlalu kuat untuk menghadapi kekuatan militer Surapati yang menguasai teknik – teknik militer Eropa dengan baik.
Amangkurat II mengirimkan surat pada VOC di Batavia, yang isinya menyatakan dia tidak terlibat pada peristiwa penyerangan terhadap Tack dan VOC di Kartasura. Namun, pihak VOC sama sekali tidak percaya, dengan terbongkarnya bukti – bukti bahwa Amangkurat telah mengirimkan surat untuk membentuk suatu persekutuan anti VOC bagi siapa saja yang bersedia. Tahun 1686 – 9 tersebar desas – desus tentang akan meletusnya suatu pemberontakan besar – besaran menentang VOC di seluruh wilayah Nusantara. Piahak Belanda percaya bahwa musuh – musuh mereka ini berangkat dari sentimen umat Islam yang membenci terhadap hal-hal yang berbau asing. Tetapi kesediaan musuh mereka untuk meminta bantuan pada Siam, Inggris, dan Bali di beberapa tempat, membuktikan bahwa antagonisme tersebut ditujukan secara khusus kepada VOC, bukan terhadap pihak nonmuslim secara umum.
Pada tahun 1689 terbongkar suatu komplotan yang membuat VOC ngeri. Sejak tahun 1665, pimpinan orang Ambon di Batavia adalah seorang muslim bernama Kapten Jonker. Bulan Agustus diketahui bahwa Jonker telah bergabung dengan musuh – musuh VOC lainnya untuk merencanakan pembantaian besar – besaran terhadap orang – orang Eropa di Batavia. Dengan terbongkarnya komplotan itu, VOC berusaha menangkap Jonker, dan akhirnya Jonker tertangkap setelah dilakukan pengejaran serta kemudian dibunuh.
VOC maupun Amangkurat II sama – sama merasa takut. Dengan dihadapinya kesulitan dipelbagai medan, maka VOC tidak menginginkan meletusnya perang baru di Jawa Tengah. Lagipula dengan meningkatnya kesulitan keuangan, VOC tidak mampu membayar ongkosnya, selain itu angkatan bersenjata VOC juga melemah, terlebih administrasi VOC kacau balau.
Tahun 1703, Amangkurat II wafat dan digantikan oleh putranya, amangkurat III. Perselisihan antara Amangkurat III dengan pamannya, Pangeran Puger, dan keluarganya menyebabkan Puger lari dari istana pada bulan maret 1704. Dia pergi ke Semarang dan member tahu VOC bahwa Amangkurat III adalah musuh mereka bersama dan merupakan sekutu Surapati. Pihak Belanda sangat dipengaruhi oleh Panembahan Cakraningrat II yang mereka anggap sebagai sekutu yang dapat dipercaya. Dia menyokong pernyataan – pernyataan Puger dan meyakinkan pihak VOC bahwa Puger mendapat dukungan orang – orang Jawa.
Tidak jelas sebenarnya mengapa Cakraningrat II mendukung Puger yang kelak akan dibencinya. Mungkin alasan utamanya karena Amangkurat III bersekutu dengan Surapati yang mengancam terhadap rencana Cakraningrat II, yang ternyata diam – diam sedang memperluas kekuasaanya diwilayah pesisir Jawa dan Surabaya serta daerah timur lainnya.
Pada Juni 1704, VOC mengakui Puger sebagai Susuhunan Pakubuwana 1, dan meletuslah konflik yang terkenal sebagai perang suksesi Jawa 1 (1704 – 8). Segera terbukti bahwa daerah – daerah pesisir, yang tadinya telah diklaim Pakubuwana 1 sebagai pendukungnya, hanya membari sedikit perhatian pada dirinya. Perlawanan utama wilayah pesisir terhadap Pakubuwana 1 datang dari Demak yang berhasil ditaklukan pada Oktober dan November 1704. Agustus 1705, suatu kekuatan yang terdiri dari orang – orang Jawa dan Madura, bersama – sama dengan serdadu VOC berkebangsaan Eropa, Bugis, Makassar, Bali, Melayu, Banda, Ambon, dan kaum Mardjkers, bergerak menuju Kartasura. Amangkurat III melarikan diri dari Kartasura karena tidak mungkin sanggup melawan Pakubuwana 1 dengan serdadu – serdadunya. Pakubuwana 1 memasuki Kartasura tanpa mendapatkan perlawanan dan menduduki singgasana pada bulan September.
Amangkurat III lari kearah timur dan bergabung dengan Surapati. Ia membawa serta semua tanda kebesaran (pusaka) kerajaan. Pada tahun 1706, 1707, dan 1708, pasukan – pasukan VOC, Madura, dan Kartasura melancarkan serangan besar – besaran di Jawa Timur. Tahun 1706 Surapati terbunuh di Bangil, dan pada tahun 1707 Pasuruan berhasil ditaklukan, sedangkan Amangkurat III dan putra – putra Surapati melarikan diri ke Malang. Perang Suksesi Jawa 1 adalah intervensi militer besar pertama oleh VOC di Jawa sejak perang melawan Trunajaya. Pasukan yang dipimpin VOC dan Pakubuwana 1 itu cukup besar. Manurut salah satu sumber Eropa, pada tahun 1707. 46. 000 orang berbaris dalam kampanye terbesar itu.
Satu diantara ciri yang paling menonjol daripertempuran ini adalah bukti bahwa inovasi dalam teknologi militer yang muncul dari peperangan di Eropa pada abad ke – 17 M dan diperkenalkan ke Jawa oleh orang VOC dengan cepat diadopsi oleh orang – orang Jawa. Senjata matchlock, digantikan oleh snaphaenen, kata Belanda yang berasala dari kata Jawa dan Indonesia ‘senapan, serta senjata lainnya. Peperangan Jawa makin modern dan, konsekuensinya memakan lebih banyak korban, baik nyawa maupun harta. Demikianlah Belanda dan jawa, dua diantara bangsa – bangsa prajurit utama pada abad ke – 17 M di Eropa dan Asia, saling berbagi buah berdarah dari kemajuan teknologi kontemporer.
Amangkurat III menyerahkan diri kepada VOC berdasakan kesepakatan bahwa dia diperbolehkan memerintah sebagian Jawa dan tidak harus tunduk kepada Pakubuwana 1. Akan tetapi, VOC lebih pandai berperang daripada menepati janji – janjinya. Amangkurat III ditawan dan dibuang ke Sri Lanka, tempat dia wafat pada tahun 1734.
Oktober 1705, Pakubuwana 1 dan VOC mencapai suatu perjanjian baru. Pihak Belanda menghapuskan segala hutang dinasti tersebut sebelum tahun 1705, sebagai imbalan atas konsesi – konsesi besar yang diberikan Pakubuwana 1 kepada VOC. Akan tetapi, Jawa tidak dapat di eksploitasi denganlembaran – lembaran kertas. Beban berat mengakibatkan terjadinya gerak perpindahan penduduk dari beberapa daerah, dengan pindahnya para petani, maka urusan penyerahan barang menjadi sulit. Pakubuwana 1 benar – benar berusaha membayar hutangnya, namun itu diluar kemampuannya. Dia mulai melunasi 69% dari seluruh hutangnya, tetapi pembayarannya kemudia tersendat – sendat lagi ketika kerajaannya terpecah belah.
VOC mengalami masalah – masalah keuangan yang sangat berat. Diantara 23 kantornya di Asia selama kurun waktu 1683 – 1710, hanya tiga (Jepang, Surat, Persia) yang biasanya memperlihatkan keuntungan. VOC kini mengelola perusahaan yang hamper tidak memiliki keuntungan. Pengeluaran – pengeluaran yang sangat tinggi mendorong VOC menuntut semakin banyak pada rakyat Jawa, yang mengakibatkan terjadinya pemberontakan dan perlawanan lebih lanjut, sehingga menjadikan pengeluaran lebih tinggi lagi.
Tahun 1718, Ponorogo, Madiun, Magetan, danJogorogo memberontak. Pada tahun yang sama, putra Raja, Pangeran Diponegoro, dikirim untuk menyerang kaum pemberontak, tapi ia sendiri malah memberontak. Ia diakui sebagai seorang Raja oleh kaum pemberontak, yang kini mempunyai seorang anggota keluarga kerajaan Mataram untuk memimpin mereka. Menyebut dirinya sebagai Panembahan Erucakra, sebuah gelar dalam tradisi mesianik Jawa berkaitan dengan Ratu Adil.
Ditengah runtuhnya bagian timur kerajaannya ini, Pakubuwana 1 wafat pada Februari 1719. Dia digantikan oleh putranya, Amangkurat IV (1719 – 26), yang pada awal masa pemerintahannya digambarkan sebagai penguasa yang ditinggalkan oleh seluruh rakyatnya dan mendapati hamper seluruh dunia Jawa memusuhinya. Pada Juni 1719, adik – adiknya, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya, melancarkan serangan terhadap istana. Mereka didukung oleh seluruh pemimpin Islam di istana dan mendapat simpati terang – terangan dariibu mereka (juga ibu Raja), Ratu Pakubuwana, yang memiliki pengaruh kuat di istana. Pangeran Arya Mataram yang merupakan paman dari Pangeran Blitar dan Purbaya, tidak berperan serta pada pemberontakan awal ini. Tapi ia juga tidak menyukai Amangkurat IV. Pada hari berikutnya ia meninggalkan istana, menuju ke pesisir utara dan memproklamasikan dirinya disana sebagai raja tandingan. Dengan demikian, dimulailah Perang Suksesi Jawa II (1719 – 23). Sekali lagi, hanya VOC – lah yang dapat menyelamatkan Raja.
Pada November 1719, VOC melakukan serangan dan berhasil menghalau tokoh – tokoh pemberontak itudari kubu pertahanan mereka di Mataram. Setelah sebelumnya pada bulan Oktober, Arya Mataram menyerah lalu dicekik di Jepara. Sisa – sisa pemberontak menyerah pada tahun 1723, mereka dibuang ke Sri Lanka dan ada juga yang ditahan di Batavia.
VOC frustasi ketika menyadari, bahwa peran mereka dalam kemenangan Amangkurat IV tidak memberikan keuntungan atau kekuasaan yang mereka cari. Orang – orang Jawasekarang memiliki pemahaman yang canggih mengenai cara operasi VOC dan memanfaatkan pengetahuan itu dengan baik. Raja wafat pada 1726, dan digantikan oleh putranya, Pakubuwana II, yang pemerintahannya berbeda dengan penguasa yang lain karena menjadi penyebab bencana yang malah lebih besar lagi. Awal pemerintahannya ia dikuasai oleh ibunya, Ratu amangkurat, Patih Danurejaa, dan Ratu Pakubuwana selaku neneknya yang seorang sufi shaleh. Pengaruh Ratu Pakubuwanalah yang menyebabkan Raja baru ini berkeinginan mempromosikan nilai – nilai Islam.
Pada awal pemerintahan Pakubuwana II tampak ada harapan, dengan cepat istana menjadi pusaat intrik diantara orang – orang kuat yang melakukan maneuver demi kekayaan dan pengaruh. Hal ini melibatkan hubungannya dengan VOC, karena VOC merupakan jaminan militer yang terpenting bagi kekuasaan dinasti tetapi juga pengisap terbesar kekayaan kerajaan. Kekuatan Danureja tumbuh dengan cepat, karena pengaruhnya ini Pangeran Arya Mangkunegara yang sebelumnya telah menyerah dan bergabung kembali ke Kartasura, kembali dihukum dan dibuang atas perintah Raja, karena fitnah dari Patih Danureja yang tidak menyukai Arya Mangkunegara. Banyak pembesar memandang, dengan dibuangnya Arya Mangkunegara, ini adalah pertanda bahwa kerajaan berada di tangan seorang raja yang impulsif dan seorang patih yang berbahaya.
Ratu Pakubuwana berusaha agar cucunya, Pakubuwana II menjadi raja sufi teladan. Dia beralih pada langkah supernatural untuk mengundang campur tangan Tuhan dan pengaruh Sultan Agung sebagai raja dengan kesalehan Islam yang paling kuat di dinasti ini. Buku – buku/ kitab yang pernah ditulis oleh Sultan Agung saat kunjungan ziarahnya ke Tembayat pada tahun 1633, ditulis kembali atas perintah Ratu Pakubuwana. Tertulis didalam salah satu kitab yaitu, usulbiyah, bahwa ia menciptakan kitab ini adalah dalam upayanya untuk menyempurnakan pemerintahan cucunya. Usulbiyah sendirii disetarakan dengan Al – Qur’an. Salah satu karya Ratu Pakubuwana yang paling berharga adalah, Suluk Garwa Kencana. Ratu Pakubuwana dan para bangsawan berpengaruh yang mendukungnya mewakili gerakan Islam terkuat di istana Jawa setelah Sultan Agung. Mereka sangat berhasil. Pakubuwana II terus menunjukkan komitmen yang kuat terhadap kesalehan dan moralitas Islam. Lawan terkemuka bagai faksi Islam ini tampaknya adalah Patih Danureja. Tahun 1732, Pakubuwana II berbalik melawan patihnya, dan meminta VOC untuk membuang Danureja, yang dilakukan VOC dengan senang hati.
Melalui perundingan yang panjang, Raja bersedia untuk membayar hutang pada VOC. Sulit untuk memperkirakan mekanisme serta pengaruh dari pembayaran hutang terhadap  kondisin masyarakat Jawa pada umumnya, dikaenakan sumber yang terbatas. Bagi sebagian orang Jawa, kedatangan VOC mendatangkan peluang komersil yang menggembirakan. Namun, orang Jawa tidak menyukai agen – agen VOC yang kebanyakan orang China. Hubungan antara orang jawa dan orang China memang cukup rumit. Tahun 1740 – an, banyak orang Jawa yang siap bersekutu dengan pemberontak – pemberontak China untuk melawan VOC, karena menganggap orang Kristen Eropa lebih asing daripada orang China. VOC hamper tidak pernah menduga sebelumnya, bahwa proses Islamisasi di istana yang tidak terlalu mereka perhatikan, akan sangat berpengaruh besar terhadap diri mereka. VOC terlibat dalam intrik –intrik politik para elite Jawa yang rumit, yang gelap bagi orang – orang Eropa.
Pengaruh Purbaya yang dijadikan patih kedua setelah Natakusuma berakhir ketika saudara perempuannya, istri Pakubuwana II, wafat setelah melahirkan bayi yang telah mati. Tanpa dukungan saudara perempuannya dan musuh – musuhnya yang kuat dikalangan elit Jawa, serta intrik – intrik politik yang menjatuhkan Purbaya, membuat Raja menyerahkannya kepada VOC yang diterima dengan senang hati. VOC membuang Purbaya, tetapi meminta Natakusuma juga untuk diserahkan pada mereka, hanya Raja mempertahankan Natakusuma. Sejak saat itu mulai tumbuh rassa benci di hati Pakubuwana II pada VOC.
Pakubuwana II diliputi kebimbangan dan inkonsistensi yang bias menjelaskan dilema sebagai ciri sepanjang masa pemerintahannya. Dihadapkan menjadi teladan raja sufi, namun dunia nyata yang ia hadapi penuh dengan masalah, dan belum memberikan solusi. Ia begitu banyak berhutang pada VOC, tapi tidak mau membebankan rakyat atas hutang – hutangnya tersebut.

Markas VOC di Batavia sekarang mendapat reputasi buruk sebagai sumber wabah mematikan yang terus dipertahankan hingga abad 19. Kolam – kolam ikan yang dibangun sepanjang pesisir, merupakan tempat berkembang biak yang ideal bagi nyamuk anopheles, dan menyebabkan wabah malaria yang mematikan.
Krisis yang terjadi di Kartasura, di daerah – daerah luar kerjaan pada umumnya, di dalam tubuh VOC dan di kota Batavia akhirnya menyatu pada tahun 1740. Katalisatornya adalah kehadiran sejumlah orang – orang Cina di Batavia. Orang – orang Cina sudah berabad – abad ada di Indonesia sebagai pedagang, dan mereka sudah menjadi bagian terpenting dalam perekonomian Batavia. Hereen XVII di Amsterdam, mengagumi industri orang – orang Cina, tetapi penduduk local Batavia tidak menyukai dan mencurigai mereka. Perasaan saling curiga menyebabkan meletusnya tindak kekerasan pada bulan Oktober 1740. Berdasarkan bukti yang berhasil diperoleh, VOC menyimpulkan bahwa orang – orang Cina merencanakan pemberontakan. Tanggal 9 Oktober dimulailah pembunuhan besar – besaran terhadap orang Cina. Orang Eropa dan para budaklah yang banyak melakukan pembunuhan. Sekitar 10.000 orang Cina tewas dan perkampungan mereka dibakar selama beberapa hari. Kejadian tersebut mempunyai arti yang sangat penting di Jawa, karena merupakan awal dari rentetan terakhir peperangan abad 18. Walaupun orang – orang Cina yang berhadil melarikan diri menghimpun kekuatan untuk kemudia memberontak kembali pada VOC, personel VOC di rembang berhasil mereka bantai, namun pada akhirnya mereka berhasil ditaklukan.
Pakubuwana II mengalami keputusan yang sangat sulit selama masa pemerintahannya.istananya terbagi dala dua kelompok utama. Kelompok pertama dipimpin oleh Patih Natakusuma, yang memilih melawan VOC dan bergabung dengan orang – orang Cina. Kelompok lain dipimpin oleh para penguasa daerah pesisir yang kuat, mempunyai pertimbangan bahwa VOC akan menang pada akhirnya. Pakubuwana II memilih kelompok Patih Natakusuma sebagai keputusan yang menurutnya sangat tepat, sekaligus pada akhirnya akan membuatnya kalah serta disingkirkan dari model raja Islam yang shaleh. Pakubuwana II menyadari betapa bodohnya dia, setelah para pembesar Jawa tidak percaya lagi akan kebijakan – kebijakan yang ia ambil, terlebih rakyat Jawa mulai curiga padanya, karena kemabli menjalin hubungan persahabatan dengan VOC, yang jelas – jelas rakyat Jawa sangat membenci VOC. Walaupun hubungan persahabatan belum begitu kuat, namun pemberontakan kini bertambah kuat.
Kaum pemberontak mengangkat cucu laki – laki Amangkurat III, yang dibuang VOC, dan baru berusia 12 tahun, bernama Raden Mas Garendi, yang juga anti VOC, dan sekarang juga anti terhadap Pakubuwana II. Pemberontakan mencapai puncak dengan takluknya Kartasura. Pakubuwana II dan Van Hohendorf melarikan diri ke daerah Panaraga. Van Hohendorf meninggalkan Pakubuwana II dengan beberapa pengawal. Pakubuwana II tidak bias luput dari penyesalan bahwa dirinya telah gagal menjadi raja sufi yang saleh. Pakubuwana II mengajukan permohonan nekat pada VOC agar dapat menduduki kembali singgasananya, dengan menghadiahkan wilayah pesisir pada Belanda dan memperkenankan mereka memilih patih.
Cakraningrat IV meminta pada VOC untuk membunuh Pakubuwana II, agar tak ada lagi penghalang baginya untuk berkuasa. Namun, VOC mempertahankan Pakubuwana II dengan alasan, stabilitas akan tetap dijalankan dengan menusahakan persekutuan dengan Raja yang lunak dari diansti Mataram, karena tidak ada seorang rajapun yang bias lebih lunak daripada Pakubuwana pada tahun 1742. Hubungan VOC dipulihkan kembali dengan perjanjian November 1743, yang secara resmi mendudukan kembali Pakubuwana II ke singgasanannya. Tidaklah keliru bahwa pemilihan ini dikatakan sebagai satu – satunya keberhasilan Pakubuwana II selama masa pemerintahannya.
Cakraningrat IV merasa yakin bahwa dia mempunyai hak atas sebagian besar wilayah Jawa Timur, namun VOC tidak mau mengakui hasrat luar biasa dari Cakraningrat IV, yang berakibat peperangan dan berakhir dengan kekalahan di pihak Cakraningrat IV, serta harus menerima konsekuensi pembuangannya ke Tanjung Harapan. Intervensi pembesar – pembesar Madura di Jawa berakhir dan Pakubuwana II kembali bertahta.


Kemajuan militer Jawa tidak membuahkan stabilitas dan hanya memberikan keuntungan yang sediit kepada VOC. Sebagian kekuatan VOC ditarik mundur ke negri Belanda, dan di Jawa masih timbul perselisihan – perselisihan yang berujung pada pembagian kerajaan, walaupun sebelum itu terjadi masih banyak peperangan yang dilakukan.
Pakubuwana II memutuskan untuk meninggalkan istana Kartasura yang sudah kacau, dan mendirikan istana baru kira 12 KM kea rah timur,yang dinamakan istana Surakarta, dan kelak ditempati oleh keturunan – keturunannya. Istana ini ternyata sama tidak stabilnya dengan Kartasura, pangeran – pangeran lain masih banyak yang memberontak. Raja mengadakan syaembara, bagi siapa saja yang bias menumpas pemberontakan ini maka akan diberikan tanah sejumlah 30.000 cacah. Tantangan ini disanggupi oleh Mangkubumi, dia berhasil menumpas pemberontakan itu. Tapi sayangnya Raja menahan janjinya akibat hasutan dari Patih Pringgalaya. Datanglah gubernur Jendral Van Imhoff yang sebenarnya tidak mengerti apa – apa tentang kerajaan Jawa, kedatangannya malah mempercepat meletusnya perang selama sebelas tahun.
Van Imhoff ingin menguasai seluruh daerah pesisir Jawa yang merupakan daerah vital. Dia terus – terusan membuju Raja agar mau memberikan daerah pesisir sepenuhnya, dengan harga sewa yang murah, dan akhirnya Pakubuwana II yang seorang peragu memberikannya tanpa musyawarah dengan pembesar kerajaan yang lain. Mangkubumi selaku pembesar keratin semakin marah ketika Van Imhoff ikut campur mengenai hadiahnya yang berjumlah 30.000 cacah. Van Imhoff mempengaruhi Raja agar tidak memberikan hadiah yang dianggapnya terlalu besar. Mangkubumi merasa terpukul, diapun melancarkan pemberontakan dan meletuslah Perang Suksesi Jawa III (1746 – 57). Mangkubumi bergabung dengan Mas Said dan pemberontak lainnya, dalam waktu singkat mereka telah mengumpulkan banyak pengikut. Pasukan VOC dalam keadaan lemah walaupun masih bias bertahan di daerah pesisir, tetapi meraka mengalami kekalahan. Raja wafat pada tahun 1749, dengan mengusulkan Van Hohendroff mengambil alih kepemimpinan atas Negara, dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1749. Tapi perjanjian yang telah ditandatangani ini bukanlah sesuatu yang penting dan bukan pula langkah terakhir VOC dalam menaklukan Jawa.
15 Desember 1749, Van Hohendroff mengangkat putra mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwana III (1749 – 88). Tetapi sebelum upacara penobatannya terlaksana, Mangkubumi telah dinyatakan sebagai raja oleh para pengikutnya. Mangkubumi juga memakai gelar Susuhunan Pakubuwana di markas besarnya di Yogyakarta, dan dimulailah masa pemerintahannya yang panjang (1749 – 92), seorang penguasa yang cakap ari Mataram setelah Sultan Agung. Tahun 1755, Mangkubumi memakai gelar Sultan setelah Sultan Agung, dan kemudian memakai nama Hambengkubuwana (I), yang kelak dipakai oleh keturunannya. Dengan demikian sejak tahun 1749, Jawa terbagi lagi antara Raja pemberontak dan seorang Raja yang didukung VOC. Namun pihak pemberontak ini tidak bisa dikalahkan karena terlalu kuat, dan VOC sedang dalam keadaan yang lemah baik dibidang keuangan maupun militer.
Mas Said selaku Patih Mangkubumi kembali menggempur Surakarta, dan mendapatkan kemenangan demi kemenangan. Tapi pada tahun 1752, tibul perecahan antara Mas Said dengan Mangkubumi yang takut kehilangan kekuasaanya atas pasukan – pasukan pemberontak. VOC mulai berusaha merundingkan peperangan – peperangan yang membuat mereka bangkrut dengan Mangkubumi. Akhirnya,VOC bersedia membantu Mangkubumi untuk melawan Mas said dengan imbalan – imbalan tertentu, walaupun Batavia tidak begitu senang dengan perjanjian ini.
Pada 13 Februari 1755, perjanjian Giyanti ditandatangani dan VOC mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I, penguasa separuh wilayah Jawa Tengah. Kejadian inimenggambarkan kegagalan kebijakan VOC di Jawa Tengah. Mereka baru menyadari bahwa mereka tidak mengalami stabilitas seperti yang diinginkan, tetapi malah terus menerus menghadapi banyak pertempuran untuk kepentingan – kepetingan raja Jawa  yang mereka dukung, dengan biaya yang memberatkan.
HAmenkubuwana I pindah ke Yoga, dan membangun istana disana pada tahun 1756, dan memberikan kota ini sebuah nama baru, Yogyakarta. Sultan batu ini mendapat rintangan berat, karna dalam legitimasi Jawa, hanya ada satu raja yang memimpin, sedangkan Pakubuwana III masih memimpin di Surakarta, walaupun hamper tidak ada pembesar kerajaan Surakarta yang mendukungnya. Akan tetapi, setelah perjanjian Giyanti, banyak pembesar kerajaan yang dulu kabur kembali ke istana Surakarta. Pakubuwana III menjadi saingan berat dalam usaha mencari dukungan elit, dan hal ini mengawali suasana permanennya perpisahan kedua istana tersebut.
Pemberontakan kembali datang, Mas Said adalah yang terpenting dan pasukannya yang terkuat. Pasukan – pasukan dari Surakarta, Yogyakarta, dan VOC tidak sanggup melawan kekuatan pasukan Mas Said, tetapi Mas Said juga tidak mungkin mampun menaklukan jawa, karena menghadapi lawan gabungan semacam itu. Maka mulailah diadakan perundingan, dan Mas Said menyerah dan mngucapkan sumpah setia, dengan imbalannya mendapat tanah 4000 cacah dari Pakubuwana III, tapi tidak memperoleh apapun dari Hamengkubuwana I. sekarang Mas Said menjadi Pangeran Adipati Mangkunegara I (1757 - 95). Dia mempunyai daerah kekuasaanya sendiri dibawah Surakarta. Hamengkubuwana I ingin menyingkirkan Mas Said, dan mencemooh penyelesaian seperti ini. Permusuhan diantara mereka menjadi tema pokok dalam sejarah Jawa selama beberapa tahun.
Peperangan besar berakhir tahun 1757. Dengan tercapainya perdamaian, maka pertanian di Jawa mulai berkembang. Para pembesar Jawa menikmati kehidupan yang lebih mapan serta penghasilan yang mulai teratur, dan sepertinya Jawa tidak memerlukan peperangan lagi. Dikalangan golongan elit mulai timbul tekad untuk memlihara perdamaian. Walaupun pembagian kerajaan belum diterima secara permanen, tapi peperangan tidak lagi menjadi satu – satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Cara seperti diplomasi perkawinan ditempuh oleh Mangukenagar I, Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I, untuk menyelesaikan masalah, walaupun berakhir hancur berantakan pada Agustus tahun 1768. Pemberontakan masih tetap terjadi, walaupun pada akhirnya bisa diatasi.
Pada akhir tahun 1760 – an, situasi politi di Jawa Tengah hamper dikatakan stabil. Campur tangan VOC di istana tidak lagi disertai kekuatan militernya. Tetapi Hamengkubuwana I berusaha sebaik mengkin agar VOC tidak mencampuri urusan istana. Pakubuwana III tidak cukup berani untuk bersikap tegas pada VOC karena pada dasarnya dia sangat mudah dipengaruhi oleh siapapun.
Pada awal tahun 1770 – an, pemisahan Jawa telah mencapai tingkat yang lebih mantap. Disetujui pula perundang – undangan yang baru, yang mengakhiri masalah yurisdiksi yang rumit akibat pembagian wilayah tersebut dan secara resmi mengatur hubungan antarwarga kedua istana. Angger – Ageng (Peraturan Hukum Besar) dan Angger – Arubiru (Undang – undang tentang Gangguan tehadap Ketentraman) disetuji masing – masing tahun 1771 dan 1773, sesudah itu diperpanjang waktunya secara teratur oleh kedua patih. Sehingga, system tersebut semakin teratur dan stabil karena para tokoh Jawa sepakat untuk membuatnya seperti itu. Dengan terjadinya hal ini, hilanglah sumber – sumber konflik antara Surakarta dan Yogyakarta, serta hilang pulalah kebutuhan akan mediasi VOC.
Pembagian kerajaan Jawa belum teratur, hal itu belum dipandang sah. Tradisi sejarah Jawa kini menampilkan sebuah krisis legitimasi sekaligus menawarkan pemecahannya. Kronik – kronik istana muncul dan tumbangnya istana – istana dalam siklus tetap selama berabad – abad. Pada awal tahun 1700 J (Maret 1774), Putra Mahkota Yogyakarta yang kelak menjadi Sultan hamengkubuwana II, menulis sebuah buku yang luar biasa berjudul Serat Surya Raja, ‘Buku Matahari Raja – Raja’. Karya hebat ini, menajdi salah satu tanda kebesaran (pusaka) kerajaan yang keramat dari kesultanan itu. Tahun 1703 J (1777 M), seorang menantu laki – laki Sultan menulis buku lain. Karya ini merupakan sebuah kronik yang berjudul, Babad Kraton, ‘Kronik tentang Istana – Istana’.buku ini cenderung melihat kebelakang daripada kedepan.
Permusuhan masih berlanjut antara Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I, yang menimbulkan ketegangan – ketegangan, hingga menerobos perbatasan Surakarta dan Yogyakarta. Akan tetapi posisi Mangkunegara I yang berubah, membuat dia menanggalkan semua rencana yang serius untuk menguasai takhta salah satu istana, dan fokus untuk memantapkan wilayahnya sendiri, walaupun daerah kekuasaannya masih belum jelas.
Hamengkubuwana I makin kurang peduli dalam memelihara hubungan persahabatannya dengan Belanda. Tujuan utama aliansinya dengan VOC adakah, penghancuran Mangkunegara I tidak pernah tercapai. Raja Yogya ini makin memperlihatkan rasa tidak puasnya kepada VOC dalam beberapa kesempatan. Di Surakarta, amasalah – masalah intern mulai muncul, dan mengamcam stabilitas istana, factor utamanya adalah katidakcakapan Pakubuwana III secara umum. Kondisi ini semakin diperparah dengan wafatnya Pakubuwana III, yang digantikan oleh putranya, Pakubuwana IV yang membawa aspirasi – aspirasi yang tidak realistis dan senantiasa tidak mampu menilai lingkungan politiknya di istana.
Desas – desus tentang Pakubuwana IV yang ingin mempersatukan kembali kerajaan – kerajaan di Jawa mulai tersebar. Mangkunegara I mencemaskan masa depannya sendiri dan keturunannya, Yogyakarta merasa khawatir akan stabilitas pembagian kerajaan Yogyakarta, tokoh – tokoh terkemuka Surakarta yang merasa tersisih mencemaskan nasib mereka dan nasib kerajaan. Akhirnya setelah 40 tahun, Mangkunegara I dan Hamengkubuwana I bekerjasama untuk melawan Pakubuwana IV, yang melakukan langkah – langkah militer untuk mempersatukan kembali kerajaan Jawa dibawah kepemimpinan Pakubuwana IV.
Musuh – musuh Pakubuwana IV mulai mengepung istana tahun 1790, karena Pakubuwana berpikir bahwa dia tidak akan mungkin bisa melawan kekuatan gabungan yang menentangnya diluar, maka dia menyerah. VOC merasa lega, karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk biaya peperangan. Bagi Yogyakarta, penyelesaian krisis ini hanya merupakan keberhasilan yang parsial. Mereka telah mendesak VOC untuk bertindak, tetapi tidak berhasil menurunkan status Surakarta. Krisis 1790 menghasilkan sebuah perjanjian baru yang merumuskan unsur – unsur pokok dari pembagian yang permanen atas Jawa Tengah.
Hamengkubuwana I wafat pada maret 1792, setelah menjadikan Yogyakarta sebagai sebuah kerajaanyang amkmur, permanen dan kuat. Dia mewariskan suatu tradisi kejayaan yang ingin diteruskan oleh putranya yang kini bergelar, Hamengkubuwana II. Yogyakarta merupakan kerjaan Jawa yang paling merdeka dan paling kuat sejak abad XVII, dan Hamengkubuwana I merupakan raja terbesar dari dinasti Mataram sejak Sultan Agung.
Di Banten,sebuah kerajaan besar lain di Jawa, telah timbul pula kesulitan – kesulitan pada pertengahan abad XVIII, tetapi akibat yang muncul sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Jawa. Banten jauh lebih dekat dengan Batavia, dibandingkan Surakarta ataupun Yogyakarta. Demi keamanan milter Batavia dan Priangan, dan dikarenakan pentingnya arti financial Banten sebagai sumber lada, maka pihak Belanda tidak bisa mengabaikan adanya instabilitas di daerah itu. Banten pun tak luput dari pemberontakan yang disebabkan oleh intrik – intrik politik pembesar kerajaan mereka.
VOC sangat letih karena banyak menghadapi peperangan, dan tidak mengkhendaki terjadinya perang lagi. Imperium Belanda yang pertama diIndonesia ini terlena dalam tidur pulas ditengah – tengah merajalelanya korupsi, ketidakefisienan, dan krisis keuangan.
 
Bab III
Kesimpulan

            Kedatangan bangsa barat ke Indonesia didasari dengan kebutuhan untuk mendapatkan suplai barang dagang khususnya rempah-rempah. Produk ini merupakan hasil bumi yang hanya bisa tumbuh di iklim tropis seperti Nusantara yang tidak ada di Eropa namun merupakan kebutuhan yang vital untuk menjaga kelangsungan hidup mereka terutama saat musim dingin. Orang Barat yang pertama tiba di Indonesia yakni Bangsa Portugis lalu disusul oleh Bangsa Spanyol dengan mengatasnamakan gereja katolik. Misi pelayaran mereka dikenal pula dengan sebutan 3G (Glory, Gospel, Gold).
Bangsa Belanda turut pula mencari sumber rempah-rempah karena ditutupnya Kota Lisbon di Spanyol. Sampailah Belanda untuk pertama kalinya di bumi Nusantara tepatnya di pelabuhan Banten. Setelah armada dagang pertama Belanda pulang kembali ke negerinya dengan membawa barang dagang dengan harga yang lebih murah, armada dagang Belanda yang berikutnya kembali lagi ke Nusantara dengan jumlah yang lebih banyak. Pada mulanya mereka menjadi pedagang bebas di Nusantara dalam mendapatkan rempah-rempah tetapi tergiur akan profit yang sangat besar Belanda pun akhirnya memonopoli perdagangan rempah-rempah juga komoditi lainnya yang laku di Eropa. Mulanya Belanda berada di Nusantara atas nama perusahaan-perusahaan dagang di Belanda yang kemudian membuat kongsi dagang bernama VOC lalu setelah VOC bubar pemerintah Belanda mengambil alih pemerintahan HIndia-Belanda.
"Masa depan negara kepulauan terbesar di dunia ini akan pelik, menarik, dan penting, sebagaimana sejarahnya," tulis Ricklefs mengakhiri buku ini. Perjalanan panjang Indonesia sejak masuknya Islam hingga kini merupakan sebuah unit historis terpadu, yang dalam buku ini disebut Sejarah Indonesia Modern. M.C. Ricklefs menyuguhkannya secara mendasar sekaligus teperinci. Terdapat tiga unsur fundamental menjadi perekat bagi periode historis itu. Pertama, unsur kebudayaan dan keberagamaan: islamisasi Indonesia yang dimulai sejak tahun 1200 dan berlanjut sampai sekarang. Kedua, unsur topik: keadaan saling memengaruhi antara orang Indonesia dan orang Barat yang masih berlangsung hingga sekarang sejak tahun 1500. Ketiga, unsur historiografi: sumber-sumber primer bagi sebagian besar periode ini ditulis dalam bahasa-bahasa Indonesia modern (Jawa, Melayu, dll., bukan dalam bahasa Jawa Kuno atau Melayu Kuno) dan bahasa-bahasa Eropa.

Bab IV
Kritik

            Buku ini sangat relevan digunakan sebagai salah satu sumber buku bacaan bagi mahasiswa yang sedang belajar sejarah Indonesia. Di balik struktur narasinya, buku ini menjawab pertanyaan bagaimana komunitas-komunitas dari berbagai kepulauan Indonesia, dengan rupa-rupa etnis, bahasa, dan dalam negara-negara kerajaan yang terpisah-pisah, bisa bersatu menjadi sebuah bangsa modern. Edisi pertama buku ini diterbitkan dalam bahasa Inggris pada 1981 dan telah beberapa kali diperbarui. Buku ini adalah edisi terbaru dengan perubahan pada hampir setiap bab yang mencerminkan masukan-masukan dari penelitian baru. Segala hal dalam periode sejak 1999 telah ditulis ulang secara substansial atau sama sekali baru. Kehadiran versi Indonesia ini terasa semakin lengkap karena pengarangnya khusus menuliskan perkembangan Indonesia sejak pemilu 2004 sampai tragedi Monas pada 1 Juni 2008. Kredibilitas penulis dalam historiografi pun tak diragukan lagi karena M.C. Ricklefs adalah Profesor Sejarah di Universitas Nasional Singapore. Dia pernah mengajar di Sekolah Kajian Oriental dan Afrika (Universitas London) dan Universitas Monash, dan menjadi Direktur Sekolah Penelitian tentang Asia dan Pasific (Universitas Nasional Australia).
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar